"Terkadang Allah mengirimkan berbagai pertolongan melalui tangan-tangan hambanya."
- Puri Meuthia -
♥♥♥
Sudah sembilan hari Afika kembali bersekolah setelah tubuhnya merasa pulih. Kini semua aktivitasnya seperti semula. Meski hatinya tak merasakan hal yang sama. Ketika perempuan berhijab itu pergi, ada rasa meragu dalam dirinya. Hingga saat ini Afika masih merasakannya. Karena itu sepulang sekolah Afika berniat mengunjungi rumah perempuan berparas cantik itu. Ia tak ingin rencananya kali ini gagal seperti sebelumnya.
Namun tampaknya cuaca sore ini tak mendukung rencananya. Gulungan hitam itu perlahan menjatuhkan bulir air dengan derasnya. Jika tadi pagi ia mengendarai mobilnya, mungkin tidak akan seperti ini. Akan tetapi, kenyataannya ia tak membawanya ke sekolah. Ia lebih senang memakai angkutan umum ke sekolah.
"Sial! Kenapa hari ini hujan? Nggak tahu apa kalo hari ini aku pengen cepet pulang," rutuk Afika sambil mengusap-usap lengannya yang sedikit merasa kedinginan. Sambil menanti sebuah angkutan datang, Afika berdiri di depan pos satpam yang langsung menghadap ke gerbang sekolah.
Hari ini ia pulang lebih lama dari biasanya. Sebab tadi ia sempat ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku biologi.
Wajahnya menatap ke sembarang arah. Mencoba mengalihkan pehatiannya pada sebuah objek di sekitar. Tiba-tiba sebuah pot bunga lili putih membuat memori otaknya memutar ulang kenangan. Tapi secepat mungkin ia membuyarkan ingatan itu. Ia tak ingin kembali merenunginya. Kini ia kembali merutuki hujan dengan kata-kata kasar.
Ia sangat berharap hujan segera reda. Namun, sepertinya harapan itu tak akan terwujud. Melihat warna awan di atas yang sangat gelap, membuat Afika tak bisa apa-apa selain menunggu lama di sekolahan.
Jam di tangannya menunjuk pada angka tiga. Sudah satu jam ia menunggu, tapi hujan tak kunjung reda. Ditambah tak ada satupun angkutan umum yang berlalu lalang. Andai saja ponselnya tidak kehabisan batrai, pasti Afika sudah memesan layanan transportasi online.
"Ck, kapan redanya sih?! Emang hujan pembawa sial!" lagi-lagi Afika menyalahkan kehadiran hujan. Sepertinya dia benar-benar kesal dengan hujan kali ini.
"Nggak perlu merutuk, hujan itu bukan pembawa sial. Justru dia pembawa rahmat dari Tuhan," ucap seorang laki-laki yang sudah berdiri di samping Afika.
Cowok itu. Kenapa harus ketemu dia di saat seperti ini.
"Mana buktinya? Kalau emang pembawa rahmat, kenapa aku harus terjebak di sini? Kenapa aku nggak bisa menikmati kehadiran hujan?"
"Karena kamu nggak mau lebih kenal tentang hujan."
"Hah? Emang apa yang aku nggak tahu tentang hujan?"
"Tanyakan sendiri pada dirimu."
Selang beberapa detik, laki-laki itu pergi. Entah kenapa, sampai sekarang Afika belum tahu namanya. Mata Afika tak lepas dari punggung dia yang perlahan menjauh di bawah guyuran air yang semakin deras. Afika pikir, dia akan menunggu hujan reda seperti dirinya.
♥♥♥
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum!"
Detik selanjutnya, terdengar balasan dari dalam rumah. Perlahan pintu itu terbuka. Menampilkan wanita paruh baya dengan senyum hangatnya.
"Loh Sya, kenapa hujan-hujanan? Cepet ganti baju, nanti masuk angin."
"Iya Umi," ucapnya seusai mencium punggung tangan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuju Hidayah-Mu
SpiritualSpiritual-Teen Fiction (ON GOING) Cover by: @liafadhilah Meskipun sudah berada di jalan yang benar, bukan berarti seseorang itu pasti mampu memegang keistiqamahannya. Sama halnya dengan gadis di kisah ini. Dia Afika Sidqia A., salah satu siswi d...