Rasya namanya.

54 7 2
                                    

"Orang lebih sering menebak perasaan orang lain dari pada perasaannya sendiri."

_______


Selesai menunaikan salat Isya, Ririn sekeluarga turun untuk menyantap hidangan yang tersaji di ruang makan. Tepat setelah Rasya duduk, Abi memulai doa sebelum makan. Hanya dentingan garpu dan sendok yang kini terdengar. Mereka larut dalam makanan masing-masing.

"Umi biar Rasya saja yang ngangkat piringnya," tawar laki-laki yang masih memakai baju kokonya.

Karena acara makan selesai, semua piring kotor ditumpuk menjadi satu. Umi yang memang merasa kesulitan, akhirnya menyerahkan urusan itu kepada putranya.

"Duh, makasih ya dek Rasya."

"Sama-sama Umi."

"Sini biar kakak yang cuci semua," ucap Ririn yang juga ingin membantu Umi.

"Kalau gitu biar Rasya bantuin."

Tak berselang lama, semua pekerjaan Ririn dan Rasya di dapur telah selesai. Mereka pun akhirnya memilih melanjutkan aktivitas masing-masing. Ketika Rasya menutup pintu kamar, ponselnya berbunyi. Ada sebuah pesan masuk.

Gino

Minggu depan, ada acara peringatan hari ulang tahun sekolah. Lo kebagian tugas buat bikin rekaman dokumentasi.

Karena itu sudah menjadi tanggung jawab anggota ekstrakulikuler camera person, mau tak mau ia harus menyanggupinya.

Rasya

Ok


Setelah balasan terkirim, Rasya memilih menyimpan ponselnya di atas nakas. Ia berjalan ke meja belajarnya. Berusaha untuk belajar materi pelajaran esok hari.

Tak jauh berbeda dengan Rasya, Ririn pun sedang berusaha menyelesaikan skripsi kuliahnya. Karena setelah ini, ia berharap bisa melanjutkan studynya ke universitas di Kairo.

♥♥♥♥

Masih setia dengan bacaannya di kamar, Afika seolah tak menyadari sudah pukul berapa sekarang. Untunglah ada Bi Atun yang selalu memperhatikannya. Dengan kebaikannya, ia mengantarkan makanan ke kamar Afika dan meletakkannya di atas nakas.

"Makasih Bi Atun," ujar Afika sebelum langkah Bi Atun keluar.

Ditutupnya buku yang sedari tadi menemaninya lalu lekas menyimpannya di rak buku. Kini ia berniat menyantap hidangan yang diantar pembantunya tadi.

Baru tiga suapan, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Kejadian tadi di sekolah rupanya punya ruang khusus dalam otaknya. Entah karena apa, ia jadi penasaran dengan cowok itu. Sudah berapa kali ia memanggil dengan sebutan 'Cowok itu' lantaran sampai sekarang ia belum tahu namanya. Besok ia berniat menanyakan tentang dia kepada Vimna. Semoga saja Afika dapat titik terangnya.


♥♥♥♥

Syukurlah. Setelah memasuki gerbang, kedua mata Afika menangkap sosok Vimna berjalan sendiri menuju kelas. Segera ia susul dengan berlari kecil ke arahnya.

"Vimna! Vimna, tunggu!"

Beberapa kali memanggil namanya, akhirnya Vimna menoleh sambil memegang earphone.

"Eh lo Fik, kirain gue siapa," ucap Vimna dengan wajah tanpa dosa.

Pantas saja Afika terus memanggil Vimna, dianya saja pakai benda penyumpal telinga itu.

Menuju Hidayah-MuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang