Prolog

170 41 41
                                    

Ada yang mengatakan bahwa puncak kesedihan bukanlah menangis. Tetapi puncak kesedihan adalah ketika air mata sudah bosan untuk keluar.

***


Tak pernah ada lagi senyum yang mengembang sejak tiga bulan lalu, tepatnya saat kepergian seseorang di hidupnya. Kepergian yang tak akan pernah kembali. Pergi menghadap Sang Maha Kuasa. Meninggalkan dirinya dan Sang Mama.

Berlari bukanlah cara untuk menenangkan diri. Karena, pada faktanya pun ia tak akan punya tempat untuk bersembunyi. Karena sejatinya ia hanya sendiri. Bahkan air mata tak ingin menemaninya lagi.

Hidupnya saat ini seharusnya lebih berarti. Masa remaja, pertemanan, sekolah, karir, dan mimpi. Semua yang seharusnya dirasakan oleh dirinya harus terenggut cuma-cuma di waktu yang hampir bersamaan. Semudah membalik telapak tangan, seperti itulah hidupnya saat ini. Terbalik, menimpa pundaknya.

Kornea hitam pekat itu menatap lurus ke depan. Tangan mungilnya mengusap lembut pucuk kayu yang tertancap ke dalam tanah dimana tempat orang yang dikasihinya tinggal sekarang. Sudah menjadi rutinitasnya untuk datang berkunjung setiap hari, bercerita tentang apa-apa yang terjadi hari ini.

Tolol? Memang begitu keadaannya. Hanya tempat inilah satu-satunya tempat untuk dirinya bercerita banyak meski hanya kepada seonggok kayu. Tempat dimana ia bisa menjadi diri sendiri.

Sudah tidak ada lagi alasan untuk ia tetap tersenyum. Bahkan untuk melanjutkan hidupnya pun ia sudah tidak sanggup. Namun, tuntutan itu akan selalu tetap ada.

Siapa yang harus disalahkan atas kejadian ini?

Tidak ada, jawabnya. Tidak ada yang bisa disalahkan. Percuma saja menyalahkan, tidak ada yang bisa mengembalikan keadaan bukan?

Sekarang ia hanya sendiri, bersama serpihan angin. Semesta nampaknya sudah bergerak menjauh, keadaan pun sudah tidak lagi bisa untuk tempat mengaduh. Jadi untuk apa ia tetap bertahan?

Ia benar-benar sendiri.

Tatapan nanar kembali tercipta ketika gadis melihat gundukan tanah di depannya. Masih sama, tidak ada yang berubah. Masih diam, tanpa suara.

Sudah tidak ada lagi air mata. Lebih tepatnya ia sudah bosan untuk keluar.

"Aku benar-benar nggak tau apa yang abang rasakan saat itu."

Batinnya berkecambuk, mengingat kejadian yang terputar di otaknya. Dadanya sesak seperti sedang diikat oleh tali tambang yang besar. Tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih. Tanda amarahnya memuncak.

Bukan marah kepada keadaan. Bukan. Lebih tepatnya menyalahkan diri sendiri, atas apa yang terjadi.

"Harusnya aku tau."

Rasanya sudah tidak kuat lagi ia menahan semuanya. Ia sudah lelah bertanya. Ia sudah lelah meminta. Ia sudah dengan semuanya. Ia sudah tidak tahan. Tetapi tetap memilih bertahan.

"Aku Pulang."

Tepat saat matahari meninggalkan peraduan. Bersama itu kakinya melangkah menjauhi nisan. Menghadapi semua tulisan, yang sudah ada di catatan Tuhan.

-------------------------------------------

Heyho!

Ini adalah Prolog dari cerita yang aku ikutsertakan acara #Grasindostoryinc bersama grasindostoryinc

Akan diupdate minimal satu minggu sekali (Sabtu) dan sewaktu-waktu akan diupdate pada hari lain di luar jadwal.

Jangan lupa vote dan komen

With Love,
Intan

Get OffTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang