Terkadang sebuah penyakit tidak butuh obat, ia hanya butuh sesuatu yang bisa menyembuhkan. Contohnya kamu. Iya kamu.
***
Lisa melaju dengan kecepatan 120 km/jam. Di sana, ada Arjuna yang sedang menahan amarahnya. Dalam pikirannya hanya satu, Rumah. Tak lebih. Bagaimana caranya ia harus sampai ke rumah lebih cepat tanpa memikirkan nyawa.
Arjuna kalap. Entah pada siapa ia harus marah. Di sana, di dalam hatinya, ia sudah berusaha menurunkan egonya. Tetapi gadis sialan itu sudah menghancurkan semuanya. Semuanya runtuh, hancur berserakan, tanpa tersisa.
Harusnya ia tahu, hubungannya dengan Rin hanya sebatas teman. Tak akan lebih. Harusnya ia sadar, gadis itu sudah menolaknya mentah-mentah, bahkan di pertemuan pertama mereka. Lantas siapa yang harus di salahkan?
Ketika dirinya sudah mencoba menurunkan ego, ketika dirinya sudah luluh lantah, gadis itu seenak jidatnya enyah dari hidup Arjuna di hari yang sama dimana ia sudah membuat harga dirinya runtuh. Tanpa kabar, tanpa permisi, Rin hilang.
Tangan kekar itu masih setia menggenggam stang motor, berusaha lebih cepat dari yang ia bisa. Pikirannya sudah tidak lagi lurus. Sekali pun ia sudah berusaha tenang, hasilnya tak akan sama ketika Rin masih disini —ketika Rin masih membantunya untuk tenang.
Sial! Sudah setergantungan itu kah dia dengan gadis tak tahu diri itu?
Sekali pun dirinya menjauh, Arjuna masih memikirkan Rin di setiap malamnya. Sekali pun dirinya dekat dengan Nara, tak ada rasa yang tercurah. Semua masih sama. Tapi lihat Rin? Gadis itu bahkan masih bisa berdiri sendiri tanpa bantuannya. Gadis itu masih bisa berjalan tanpa merasa kehilangan. Sampai ketika gadis itu pergi, ia tak merasa ada sosok Arjuna yang pernah singgah. Gadis itu tak pernah peduli. Harusnya Arjuna tau.
Apa hanya dirinya yang menyimpan rasa?
Arjuna tak lagi mengumpat karena motornya sudah memasuki perkarangan rumah putih itu. Setelah memarkinkan Lisa dengan sempurna, Arjuna masuk ke dalam rumah yang masih terkunci. Tak ada tanda-tanda orang ada di dalam. Jelas saja, Mamanya pasti masih bekerja.
Baru selangkah Arjuna masuk, telinga tajamnya mendengar suara mobil khas yang tak pernah ia lupakan. Masih sama seperti beberapa tahun lalu.
Napas Arjuna memburu. Ia tahu siapa yang datang berkunjung. Mangsa yang selalu kalah jika tanpa bantuan Mamanya. Cowok itu memutar tubuhnya tanpa senyum sedikit pun, menunggu seseorang dari dalam mobil itu keluar dan menantangnya.
Hendra. Pria paruh baya itu keluar dari mobil. Namun tatapannya tak setajam dulu meski ia sudah tahu ada Arjuna yang menunggunya. Anak laki-laki itu tengah menunggu saat dimana dirinya membuka mulut.
"Arjuna?" panggilnya.
Arjuna menyeringai, "Masih ingat anda dengan saya?"
"Arjuna jangan mempersulit semuanya. Saya ingin berdamai dengan kamu. Saya akan lebih tenang jika kamu menandatangani surat ini, dan kamu akan terjamin hidupnya."
"Tenang apa yang anda maksud?" Arjuna berkacak pinggang, "tenang apa, Hendra?!"
"Arjuna saya sudah bersikap baik. Seharusnya kamu bersikap baik juga dengan saya. Apa ini yang Mia ajarkan selama saya tidak ada?"
"Jangan pernah sebut nama Mama! Saya ingatkan, kalau-kalau anda lupa, sekali pun anda ada disini, anda tidak pernah menyentuh saya. Anda tidak pernah menganggap saya anak. Saya masih ingat betul bagaimana anda memperlakukan saya, bagaimana anda memperlakukan Mama. Disini," Arjuna menunjuk kepalanya, "masih terekam jelas bagaimana pontang-pantingnya Mama mencari uang dan anda hanya duduk di rumah. Sudah ingat?"
Hendra diam. Tahu jika melawan Arjuna hanya akan berujung ke sebuah kata 'sia-sia'.
"Hendra. Apa tujuan anda datang ke sini? Mau minta uang lagi? Mau menjual sertifikat tanah ini?" Arjuna merebut map biru di tangan Hendra, "ini tidak akan berbuah apa-apa. Tidak akan pernah ada kesepakatan-kesepakatan antara saya dan anda."
Sedetik setelahnya, Arjuna sudah merobek map tipis itu beserta kertas di dalamnya menjadi beberapa bagian. Hendra yang melihat itu sontak langsung membelalakan matanya.
"Dasar anak tidak tahu diuntung!"
Satu pukulan berhasil Hendra layangkan di rahang kekar Arjuna. Ini adalah saat yang Arjuna tunggu-tunggu. Melampiaskan seluruh emosinya kepada sasaran yang empuk. Mangsa yang datang ke kandang tanpa perlu dicari.
Dengan senang hati Arjuna membalasnya hingga tubuh Hendra terpelanting beberapa langkah ke belakang. Arjuna menyeringai.
Satu pukulan kembali Hendra layangkan menyebabkan sudut bibir Arjuna mengeluarkan darah segar. Namun Arjuna membalasnya dengan tiga kali pukul. Hingga pria paruh baya itu terduduk di rumput gajah di halaman rumah. Arjuna kembali melayangkan pukulan, tak peduli seberapa banyak darah yang terkeluar dari pelipis Hendra.
"Arjuna cukup!"
Teriakan Hendra tak lagi digubris oleh Arjuna. Cowok itu benar-benar kalap. Bertubi-tubi ia menghujani lawannya meskipun lawannya sudah berbaring tak berdaya. Arjuna menghentikan kegiatannya.
"Jangan pernah balik lagi kesini!" Setelahnya Arjuna kembali memasuki rumah megah itu tanpa menoleh ke lawannya yang hanya mengangguk lemah.
Tangan kekarnya menbanting pintu sangat keras. Tak peduli jika Hendra kembali lagi. Tak peduli jika pria paruh baya itu punya penyakit Jantung. Salahnya membangunkan macan tidur.
Kaki panjangnya itu menelusuri setiap anak tangga yang ada. Sekali pun ia sudah menghajar Hendra, atau bahkan membuat pria itu mati di tangannya, Arjuna tak akan bisa meredam amarahnya. Sadar, ia hanya butuh obat yang sudah beberapa bulan ini ia konsumsi.
Arjuna mendobrak pintu kamarnya sendiri kemudian langsung menuju nakasnya mencari sesuatu yang ia cari. Sadar tak menemukannya disana, Arjuna beranjak ke lemari. Meski bajunya sudah berserakan di lantai, hasilnya tetap nihil. Entah kemana perginya benda itu.
"Sial!"
Dada Arjuna bergemuruh hebat. Ia benar-benar membutuhkan benda itu. Sesekali Arjuna menjambak rambutnya sendiri ketika kepalanya terasa berdenyut kuat. Arjuna tak pernah separah ini.
Tangan kekar itu beranjak mencari benda-benda tajam disekitarnya. Sialnya, ia tak pernah menyimpan benda itu di dalam kamar. Semua benda tajam ada di dapur, di lantai satu.
Arjuna terduduk di lantai kamar, tak kuat untuk berjalan lagi. Kemudian cowok membuang apapun yang ada di dekatnya ke arah pintu. Berharap ada orang yang mendengar lalu menolongnya. Namun semua hanya berujung kesia-siaan. Bahkan jika Hendra masih ada di bawah, pria itu tak akan menolongnya. Pria itu pasti sedang tertawa bangga melihat kehancuran Arjuna.
Merasa tak kuat lagi duduk, tubuh Arjuna menghantam dinginnya lantai kamar. Tubuhnya meringkuk gemetar, kulitnya pucat seperti mayat. Bibirnya kelu dan biru. Sama sekali tak bisa bergerak. Perlahan air matanya keluar dengan sendirinya. Arjuna tak pernah selemah ini. Bahkan ketika Hendra meninggalkan dirinya dan Mamanya, Arjuna tak pernah menangis.
Arjuna hanya butuh itu. Obat terlarang.
--------------------------------------------
Heyho!
Arjuna balik lagi. Gimana perasaan kalian setelah membaca part ini? Aku nulisnya deg-degan parah, takut feel-nya nggak sampai.
Well, sampai ketemu di part berikutnya. Kita beranjak dulu ke Rin. Apasih yang Rin lakuin selama di Palembang?
Jangan lupa beri bintang sebagai bentuk dukunganmu terhadap cerita ini.
With Love,
Intan
![](https://img.wattpad.com/cover/163739092-288-k547289.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Off
Teen FictionA novel by Intan Nurul Putri Apa yang kalian lakukan ketika kehilangan seseorang? Menangis? Frustasi? Atau malah melupakan? Masalah datang bertubi-tubi di hidup Rin -Gadis yang usianya belum menginjak 17 tahun. Bermula dari kepergian abangnya mengah...