Menanti maaf dari mu sama seperti menginginkan udara di luar angkasa.
***
Hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan Ulangan Semester Akhir di SMA Nusantara. Artinya, sudah lebih dari satu minggu Rin berada dalam satu ruang dengan Arjuna. Sudah lebih dari satu minggu pula gadis itu menahan hatinya untuk tidak mengajak Arjuna berbicara lebih dulu.
Rin sadar, ia sudah jatuh. Jatuh pada lubang yang ia buat sendiri.
Sayang, egonya terlalu tinggi hanya untuk mengucapkan sebuah maaf kepada Arjuna. Egonya masih tidak bisa terkalahkan oleh rasa sukanya. Egonya masih berada di tingkat paling atas.
Rin menarik napasnya ketika ia berhasil menyelesaikan soal terakhir di lembar kerjanya. Kemudian kakinya melangkah ke depan untuk mengumpulkan lembar tersebut. Lewat ekor matanya, gadis itu melirik bangku pojok yang sudah kosong sejak setengah jam yang lalu. Ada rasa aneh yang masuk, padahal ia sudah mencoba membuang semuanya.
Setelah pamit pulang kepada pengawas, Rin dengan mantap meninggalkan kelas itu. Besok adalah akhir pekan, yang artinya ia tidak akan datang ke sekolah. Lalu seminggu berikutnya akan ada libur semester, tentunya setelah classmeeting dan pembagian rapor. Waktu terasa begitu cepat, ditambah lagi saat hubungannya dengan Arjuna mulai renggang. Bahkan hilang.
Rin melangkahkan kakinya menuju gerbang untuk menunggu om Fahrul menjemputnya. Bersama handphone putihnya yang belakangan sering menemaninya ketika menunggu om Fahrul.
Tepat ketika deru mesin motor yang tak asing lagi di telinganya lewat tepat di depannya, Rin menoleh. Arjuna dan Nara pada satu motor. Rin bersumpah bahwa matanya masih normal dan ia pasti tidak akan salah lihat.
Arjuna dan Nara.
Beberapa detik tatapannya bertemu dengan manik mata coklat sayu di balik helm fullface yang kacanya belum tertutup itu. Tidak ada niatan untuk menyapa. Bahkan tatapan itu tidak bertahan lebih dari tiga detik.
"So much pain." Rin memegang dada kirinya yang terasa nyeri. "Ini beneran sakit? Lo harus ke dokter, Rin! Crazy!"
—Get Off—
Roda Lisa berputar tanpa henti membelah jalanan kota Surabaya di siang yang terik. Kali ini penumpangnya bukan lagi Rin, melainkan Nara. Ya, Nara Audhita. Sekretaris eskul Jurnalistik yang mengaku tak pernah percaya dengan kata-kata Arjuna.
"Jun."
"Hm."
"Lo ada masalah apa sama Rin?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Nara itu hanya menggantung di udara. Arjuna tidak berniat menjawabnya meskipun pertanyaan itu terdengar sangat jelas di telinganya. Suara Nara yang pada dasarnya memang besar tidak akan kalah dengan deru kendaraan yang berlalu lalang.
"Juna, lo ada masalah apa sama Rin?" ulang Nara.
"It's not your bussiness!"
"Apa itu yang mau lo bahas ke Mama gue?" tanyanya sekali lagi.Arjuna hanya diam, tidak ingin melanjutkan. Memang benar hari ini ia akan menemui Mama Nara yang berprofesi sebagai Psikolog. Namun, bukan itu yang ingin ia bahas. Waktunya tidak akan ia buang sia-sia hanya untuk membahas masalah sepele.
"Arjuna."
"Hm."
"Gue mau ngomong. Pinggirin motor lo."
Meskipun malas, Arjuna tetap menepikan motornya. Ia sama sekali tidak penasaran dengan apa yang ingin Nara katakan. Di otaknya sekarang hanya satu. Bertemu Mama Nara dan menyelesaikan masalah terbesarnya.
"Jadi, lo mau ngomong apa?"
Arjuna duduk di salah satu kursi yang disediakan di sepanjang pedestrian jalan lalu diikuti oleh Nara di sebelahnya.
"Gue cuma nggak mau dianggep sebagai PHO."
Arjuna mengernyit bingung, "PHO gimana? Lo ngigau?" tangan kekar itu kemudian mendarat tepat di dahi Nara.
"Apasih, Jun? Gue nggak demem apalagi ngigau. Gue ngomong realistis." Nara menepis tangan kekar itu.
Arjuna tertawa terbahak-bahak, "Jadi nona realistis, maksud lo gimana? Gue nggak ngerti."
"Jun, gue serius."
"Pengen banget lo, gue seriusin?"
"ARJUNA!"
Arjuna kembali tertawa meskipun hatinya tidak demikian. "Coba jelasin. Singkat aja. Gue nggak punya banyak waktu."
"Seantero sekolah tau kalo lo sama Rin lagi deket. Dan sekarang tiba-tiba mereka ngeliat kita sering bareng. Gue cuma nggak mau dianggep sebagai perusak hubungan lo sama Rin. Gue nggak mau jadi bahan omongan satu sekolah."
"Gue kan punya urusan sama Mama lo. So?"
"Mereka mana tau kalo lo punya urusan sama Mama gue. Yang mereka tau lo deket sama gue, ditambah lagi lo sekarang jarang banget keliatan bareng Rin kemana-mana, padahal dulu lo ngintilin dia."
Arjuna tertawa sumbang, "Se-bucin itu gue dulu ya?"
"Bukan gitu. Mak—"
"Iya iya. Intinya lo nggak mau dianggep PHO kan? Nggak bakalan. Gue juga nggak ada apa-apa sama Rin. Gue bukan siapa-siapanya dia."
"Saran gue, kalo lo punya masalah cepet-cepet deh diselesaikan. Itu yang kadang malah tambah bikin sakit hati."
Arjuna menoleh ke arah Nara. Niatnya untuk tidak lagi memikirkan Rin kini runtuh seketika. Di otaknya sekarang malah dipenuhi oleh bayang-bayang Rin. Tatapan mata Rin ketika ia merebut bangkunya, ketika ia tak menyapa Rin meski mereka berada dalam satu ruangan, dan ketika Rin melihat ia membonceng Nara. Semua terasa menyakitkan.
"Kadang cewek itu cuma butuh kata maaf. So, yang perlu lo lakuin sekarang adalah cukup turunin ego lo sedikit aja. It's gonna be okay, man!" gadis itu menepuk pelan bahu Arjuna.
Mungkin Nara benar. Ia hanya perlu menurunkan sedikit egonya. Hanya sedikit demi hubungannya dengan Rin yang bahkan baru ia bangun.
"Gue jadi bingung, sebenernya yang Psikolog itu lo atau Mama lo?" Arjuna tersenyum karena hatinya kini mulai membaik.
"Gen dia ada di gue. Yuk cabut! Katanya lo nggak punya banyak waktu."
Arjuna menyunggingkan senyumnya, "Pinter juga lo."
--------------------------------------------
Heyho!
Rin dan Arjuna kembali! 2 kali update!
Maaf banget kalo part ini pendek. Jujur, aku nggak tau mau nulis apa karena otakku bener-bener butek. Kayak apa yang aku tulis itu selalu keluar dari kerangka.
Pilih lama tapi panjang, atau cepet tapi pendek?
So, jangan lupa beri bintang sebagai bentuk dukunganmu terhadap cerita ini.With Love,
Intan
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Off
Teen FictionA novel by Intan Nurul Putri Apa yang kalian lakukan ketika kehilangan seseorang? Menangis? Frustasi? Atau malah melupakan? Masalah datang bertubi-tubi di hidup Rin -Gadis yang usianya belum menginjak 17 tahun. Bermula dari kepergian abangnya mengah...