Bagian 1 - Bimbang

135 33 40
                                        

Tuhan sudah melukiskan apa yang menjadi bagian manusia. Semua akan indah tergantung bagaimana kita melihatnya.

***

Langkah kaki milik gadis kecil itu pelan namun pasti memasuki perkarangan rumah megah yang sudah ia tinggali sejak kecil. Rumah putih itu terlihat tidak terurus sejak dua bulan lalu. Penghuninya sudah tidak lagi mementingkan tempat yang seharusnya menjadi surga dunia.

Rumput di halaman mulai tumbuh tinggi, hampir seperti ilalang. Kacanya berdebu, catnya pun sudah mulai kusam. Persis rumah tak berpenghuni.

"PERGI!!!!"

Telinga Rin —Airin Krissa menajam mendengar teriakan seorang wanita yang tidak asing lagi baginya.

Kaki pendeknya berlari kencang membuat rambut sebahunya bergoyang ke kiri dan kanan. Tangan mungilnya menggenggam erat tali tas. Wajahnya pucat pasih, mencemaskan seseorang di dalam sana.

"Mama!" Teriaknya memanggil wanita yang sekarang sedang duduk dipojok ruangan seraya memegangi kepalanya sendiri. Keadaannya terlihat sangat kacau.

Kepala wanita lain menoleh, melirik ke arah Rin sekaligus mempertanyakan keadaan wanita yang sedang merancau itu. Lewat tatapan matanya, terlihat jelas ketidaktahuan dan kecemasan.

Dada Rin bergemuruh, tidak tahu harus memulainya dari mana. Masalah datang bertubi-tubi di kehidupannya. Tak berhenti.

Banyak yang ingin Rin katakan. Tetapi bukan sekarang. Gadis itu memilih untuk menjulurkan tangan mungilnya mengusap pelan kepala mamanya. Mencoba menenangkan. Sedangkan wanita jangkung itu hanya bisa menatap penuh iba.

— Get Off—

Setelah menenangkan mamanya, Rin duduk di ruang tamu rumahnya bersama wanita jangkung yang memiliki segudang pertanyaan untuknya. Ira. Tante Rin yang tinggal di Surabaya, datang kembali setelah mendengar kabar Ayah Rin meninggalkan mereka.

Rin menghirup udara sebanyak mungkin seakan ingin memenuhi rongga parunya dengan oksigen. Gadis itu kemudian menghembuskannya kasar. Menenangkan diri, itulah tujuannya.

Bahu Rin diusap dengan penuh kasih sayang oleh Tante Ira. Sedikit mengurangi beban di pundaknya.

"Maaf."

Gadis mungil itu akhirnya mengeluarkan suara. Wajahnya tertunduk, tidak berani menatap lawan bicaranya.

"Sejak kapan Rin?" Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sedari tadi ingin terlontar dari mulut tante Ira. Ada nada kecewa dari suaranya. Kecewa melihat kakak semata wayangnya tidak lagi bisa menikmati hidup yang normal.

Air matanya sedari tadi ingin keluar, tetapi ia tahan. Sesak. Namun ia tetap harus terlihat tegar di depan keponakannya, agar Rin bisa ikut tegar sepertinya. Biar bagaimana pun, Rin yang paling terpukul di sini.

"Mama mulai sering teriak-teriak beberapa hari setelah abang meninggal. Mama yang paling terpukul. Mama sering bilang kalau abang meninggal karena dia. Tante tau gimana Mama sama Papa." Gadis itu menarik napasnya. Kapasitas udara di paru-parunya terasa mulai habis. Mengingat kejadian beberapa bulan lalu. Kalimat itu diucapkan secara cepat.

"Puncaknya waktu mama divonis mengalami gangguan jiwa oleh dokter. Papa pergi dari rumah." Lanjutnya dengan nada lirih.

Mata Ira membesar tanda terkejut. Jantungnya berdebar, terasa ada ribuan panah yang menusuk jantungnya secara bersamaan. Perih. Sakit. Sesak. Segala rasa pahit bercampur pada di hatinya. Tenggorokannya tercekat.

Get OffTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang