Aku sedang tidak membuka hati, aku hanya memberimu permisi. Karena jika memang jalanku disini, sejauh apapun aku berlari aku akan tetap kembali.
***
Semakin lama, semakin tumbang.
Seperti itulah kiranya kalimat yang menggambarkan keadaan siswa-siswi kelas XII IPA 2 sekarang. Ada yang sudah terlelap, ada yang bolak balik memegang perutnya, ada juga yang mencoret-coret kertas tanpa tujuan. Hanya beberapa siswa yang berada di barisan depan yang tetap kokoh pada posisinya. Entah karena memang ingin mengikuti pelajaran, atau untuk menutupi teman-temannya.
Rin masih setia pada posisinya, meskipun ia tidak duduk di kursi paling depan. Gadis itu mengusir rasa bosannya dengan mengetuk-ketukkan pulpennya sembari menyimak pelajaran Kimia yang sedang diterangkan oleh Pak Agus —Pria yang kepalanya sudah didominasi warna putih, dan sebentar lagi akan memasuki masa Pensiun.
Belajar Kimia di saat perut tidak lagi selaras dengan otak, adalah hal yang paling buruk. Suara medhok Pak Agus hanya akan masuk dari kuping kanan lalu keluar lagi dari kuping kiri. Ia tidak lagi bisa menerima pelajaran yang ada.
Untuk pertama kalinya, Rin menunggu bel istirahat berdering.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu berhasil.membuat seisi kelas menoleh ke arah pintu. Cowok dengan rambut coklat dan penampilan yang urak-urakan tengah berdiri di ambang pintu.
Seorang Arjuna Mahendra tersenyum ke arah Pak Agus. "Permisi, Pak." sapanya.
Pria paruh baya itu menurunkan kacamatanya lalu menganggukkan kepalanya sekali. "Ada apa, Arjuna?"
"Itu, Bapak dipanggil sama Pak Beni. Di ruang TU katanya, Pak." Ujar Arjuna dengan penuh sopan.
Rin memicingkan matanya, merasa ada yang ganjil. Meski ia tidak terlalu paham dengan Arjuna, tetapi yang kali ini mungkin seisi kelas pun tau kalau Arjuna aneh.
"Tolong sampaikan, nanti Bapak temui. Bapak masih ada jam 15 menit lagi." Pria paruh baya itu kembali menaikkan kacamatanya dan bersiap untuk mengajar. Lagi.
"Loh, kata Pak Beni sekarang. Pak Beni ada keperluan mendesak."
"Yasudah kalau begitu. Terima kasih infonya, Arjuna." Pria paruh baya itu membereskan bukunya. "Kalian jangan keluar sebelum bel istirahat. Mengerti?"
"Mengerti, Pak!"
Tidak seperti yang ada di bayangan. Tidak ada siswa yang beranjak dari kursi mereka, setelah Pak Agus mengatakan pesannya. Nilai-nilai disiplin yang sudah ditanamkan sejak mereka memutuskan untuk masuk ke SMA Nusantara bahkan masih melekat ketika mereka sudah akan meninggalkan sekolah ini.
Arjuna menaikkan sebelah alisnya. Merasa heran dengan isi kelas di depannya yang memilih untuk berdiam diri di kelas, meskipun kebayakan dari mereka mengeluh kelaparan.
Cowok bermata coklat itu menggidikkan bahunya kemudian berjalan ke arah meja pada kolom ketiga baris kedua dari tempatnya berdiri.
Arjuna senyum menuh arti seraya memandangi wajah Rin yang tengah sibuk menulis rumus-rumus Kimia yang sama sekali tidak Arjuna pahami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Off
Teen FictionA novel by Intan Nurul Putri Apa yang kalian lakukan ketika kehilangan seseorang? Menangis? Frustasi? Atau malah melupakan? Masalah datang bertubi-tubi di hidup Rin -Gadis yang usianya belum menginjak 17 tahun. Bermula dari kepergian abangnya mengah...