Bagian 15 - Kepala Batu

25 9 6
                                    

Gue harus jadi air yang tenang, atau malah gue harus jadi palu yang kasar untuk mecahin batu di kepala lo?

—Arjuna Mahendra—

***

Menjelang akhir semester, siswa SMA Nusantara dibuat kuwalahan oleh tugas-tugas yang diberikan beberapa guru dengan nama 'Tugas Akhir'. Mulai dari mengerjakan setumpuk soal hingga membuat laporan, semua sukses membuat sebagian siswa seperti cacing kepanasan. Bahkan, jam istirahat pun dihabiskan untuk mengerjakan tugas.

Rin adalah salah satunya. Mengesampingkan jam makannya demi mengerjakan setumpuk soal dengan deadline di depan mata. Setelah ini, ia masih memiliki tugas membuat laporan, meresensi buku, dan membuat resume dari beberapa materi pelajaran. Karena sangking banyaknya, Rin melupakan masalah notes putihnya yang hilang entah kemana.

Tangan mungil milik Rin sedari tadi sudah menari-nari di atas kertas buram mencari jawaban dari soal yang ia kerjakan. Memang soalnya tidak terlalu sulit, namun butuh waktu lama untuknya mengerjakan soal dengan jumlah yang lumayan banyak.

"Rin!"

Gadis berambut pendek itu tidak berniat menoleh atau hanya sekedar melirik. Ia sudah tahu siapa yang menghampirinya di kelas pada jam istirahat setiap hari. Arjuna. Siapa lagi?

"Lo nggak capek apa ngerjain tugas mulu dari kemaren? Gue aja engap liatnya." Cerocos Arjuna sesaat setelah ia duduk di bangku kosong di depan meja Rin.

Rin menggeleng. Wajahnya tetap ia fokuskan pada kertas-kertas di depannya. Waktunya akan semakin menipis jika meladeni cowok seperti Arjuna. Dijawab satu, maka ia akan bertanya yang lain lagi. Seperti tidak ada kerjaan lain selain mengganggu hidup Rin.

"Rin lo—"

"Lo nggak ada kerjaan lain?" Potong Rin, sebelum Arjuna sempat memberikan pertanyaan lain yang mungkin akan membuat Rin semakin pusing.

"Nggak. Kerjaan gue kan cuma jagain lo."

Rin memejamkan matanya sebentar untuk mengusir kepenatan otaknya. "Lo nggak punya tugas?"

"Lo perhatian banget deh, Rin. Gue suka." Arjuna tersenyum manis. Bahkan sekarang tingkahnya melebihi anak kecil.

Rin tidak lagi menggubris. Ia sudah cukup pusing, namun cowok di depannya ini tidak juga mengerti. Tidak ada lagi waktu bermain-main. Tugas masih banyak sedangkan deadline-nya sebentar lagi.

"Lo nggak mau makan, Rin?" Tanya Arjuna lagi.

"Udah."

"Kapan lo makan? Orang dari tadi gue liatin lo ngerjain tugas mulu. Lo bohong ya. Lo ma—"

"Makan angin."

"Lo hobi banget emang motong omongan orang? Udah jarang ngomong. Sekalinya ngomong ngambil lapak orang."

"Gue lagi sibuk."

"Lo nggak pengen tau ngapain gue kesini?"

Rin menggeleng cepat. Sama sekali tidak berminat untuk melanjutkan pembicaraan dengan Arjuna. Semakin cepat Arjuna pergi dari hadapannya, maka akan semakin cepat tugasnya terselesaikan.

Arjuna menghela napasnya. Seharusnya ia sudah tahu kalau Rin akan sekeras ini. "Sebenernya gue punya kejutan."

Rin menggeleng pelan seraya menolehkan kepalanya menghadap Arjuna. Tidak habis pikir dengan akal cowok itu untuk terus menganggunya. "Arjuna, please."

Get OffTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang