Sebagai umat manusia, seharusnya kita bisa menerima tanpa harus banyak meminta
***
Motor sport hitam itu sudah mencapai parkiran sekolah di saat motor-motor siswa lain masih terpakir cantik di rumah mereka. Arjuna sengaja datang sepagi ini hanya untuk menengakan hatinya yang terasa begitu berat setelah mendengarkan penuturan Nara kemarin. Padahal, ia tidak berniat memikirkan quotes Nara itu.
Arjuna memilih untuk mendaratkan bokongnya di kursi taman belakang. Keadaan disini masih sepi dan gelap, hanya ada beberapa lampu taman yang belum dimatikan oleh Pak Bono —si penjaga sekolah yang tinggal di dalam lingkungan sekolah.
Pak Bono memang selalu membuka gerbang sekolah setelah ia melaksanakan ibadah solat subuh karena biasanya ada anak OSIS yang suka datang pagi, hanya untuk rapat ataupun mempersiapkan kegiatan. Meskipun gerbang sudah dibuka sebelum matahari muncul, tetapi suasana SMA Nusantara tetap terkontrol. Hingga saat ini, belum ada kasus 'pencurian' atau sebagainya.
Arjuna menyandarkan bokongnya, kemudian mulai memejamkan matanya mengikuti alunan musik yang keluar dari earphone yang terpasang di kedua telinganya.
Kadang cewek itu cuma butuh kata maaf. So, yang perlu lo lakuin sekarang adalah cukup turunin ego lo sedikit aja.
Kata-kata Nara kemarin kembali terngiang di kepalanya seolah-olah yang terjadi benar adanya. Arjuna mengacak rambutnya, kemudian mulai menyentuh benda pipih hitamnya.
Juna M : Apa menurut lo gw harus minta maaf?
Setelah menyentuh tombol kirim, Arjuna kembali menyimpan ponselnya. Mungkin menghubungi Nara adalah sebuah pilihan yang tepat untuk saat ini.
Tidak sampai lima menit, benda pipih itu bergetar dua kali membuat si empunya langsung menggerakkan tangannya untuk membuka pesan seseorang.
Nara A : Lo lg nanya sama gw?
Nara A : Akhirnya, klien mama gw nggak gengsi-gengsi lagi ya ngakuin kalo lagi ada masalah sama GEBETANNYA.
Arjuna tidak menyangka jika Nara akan se-bacot itu. Di detik itu juga, Arjuna merasa memilih jalan yang salah untuk bertanya pada anak Psikolog handalnya.
Juna M : Bct!
Di sudut lain, Nara sedang tertawa terbahak-bahak membaca pesan yang masuk di ponselnya. Senang rasanya bisa menggoda Arjuna —teman satu sekolahnya yang sedang gengsi kepada lawan jenisnya itu.
"Nara, makan dulu."
Sadar gelak tawanya sangat besar, Nara menghentikan tawanya ketika mendapat teguran dari Sang Mama. Gadis dengar rambut kucir kuda itu kemudian melanjutkan makannya dengan cepat sedetik setelah ia mengentikkan balasan untuk Arjuna.
—Get Off—
Tubuh jangkung Arjuna masih setia berbaring di atas kursi taman ketika Matahari mulai menginjak cakrawala. Telinganya sengaja ia sumpal dengan earphone, guna menenangkan hatinya. Ya, meski itu tidak cukup berhasil, setidaknya ia tidak terlalu merasa sendiri.
Arjuna memejamkan matanya. Rin benar-benar menyita pikirannya. Rasa bersalah itu perlahan muncul dan menyelimuti seluruh hatinya. Jujur, Arjuna tak pernah merasa seperti ini. Bahkan ia tak pernah memikirkan kembali kelakuannya kepada orang lain.
"DOR!"
Arjuna membuka matanya secepat kilat. Jantungnya berpacu cepat, terkejut dengan suara hentakan itu. Entah dari mana seorang Nara tahu bahwa dirinya sedang menyendiri di taman belakang. Yang jelas itu sangat mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Off
Teen FictionA novel by Intan Nurul Putri Apa yang kalian lakukan ketika kehilangan seseorang? Menangis? Frustasi? Atau malah melupakan? Masalah datang bertubi-tubi di hidup Rin -Gadis yang usianya belum menginjak 17 tahun. Bermula dari kepergian abangnya mengah...