"Ratu.. Tunggu.. Ratuuu.."
Suara itu terus saja berkumandang di koridor sekolah. Tapi seseorang yang dipanggil tak kunjung menyahut. Menoleh pun tidak. Sombong? Bukan, mungkin saja memang tidak mendengar.Pemilik suara itu pun lari terengah-engah menuju seseorang yang terus saja dipanggilnya. Napasnya sudah naik-turun tak beraturan. Hingga satu tangannya pun menyentuh bahu gadis itu.
Langkahnya dan langkah gadis yang disentuh bahunya itu pun seketika berhenti. Gadis itu menoleh ke belakang. Dahinya mengernyit saat didapati seseorang tengah menunduk sembari menyentuh kedua lututnya masing-masing. Karena satu tangan pemuda yang menyentuh bahu gadis itu tadi sudah turun.
Perlahan ditegakkan kembali tubuhnya. Masih berusaha mengatur napasnya yang tidak keruan.
"Dipanggilin nggak nyaut," celetuk pemuda yang kini irama napasnya sudah lebih membaik.
"Hm?" gumam gadis itu.
"Lo dipanggilin nggak nyaut-nyaut. Nama lo Ratu, kan?" tanya pemuda bertubuh tegap dengan wajah yang bisa dikatakan sangat tampan. Hidungnya mancung, bibirnya sexy, kulitnya agak kecokelatan, pakaiannya sangat rapi, manis, dan tatapan matanya begitu hangat.
"Gue?" tanya gadis bertubuh hampir sama rata dengan pemuda yang kini berdiri di depannya. Hanya saja, pemuda itu masih lebih tinggi dibanding dirinya.
Pemuda itu mengangguk beberapa kali.
"Salah orang, lo!" ucap gadis itu dengan ketus.
Gadis itu pun hendak berbalik berjalan menuju tempat parkir. Karena sebagian murid sudah banyak yang bubar. Kembali ke rumah masing-masing. Walaupun mungkin, sebagian murid ada yang memilih nongkrong dengan teman-temannya entah ke mana.
Tapi langkahnya terhenti ketika pemuda itu lebih cepat menahan satu lengan gadis itu.
Dengan terpaksa, gadis itu kembali menoleh. Dan berusaha melepas cekalan pemuda yang tidak dikenalnya. "Apalagi, sih!?" ketus gadis itu.
"Jangan galak-galak ngapa," ucap pemuda itu sambil nyengir. Tapi manis.
Gadis itu tak menggubris, justru membuang arah. Malas menatap cowok aneh yang sama sekali tidak dikenalnya.
Lengannya masih ditahan oleh pemuda tampan itu, dan pemuda itu kini kembali bersuara. "Nama lo, kan, emang Ratu. Tuh, buktinya," sembari menunjuk name tag yang berada di sisi kanan gadis itu.
Kedua alis gadis itu saling bertaut. Tatapannya tajam dan senyumnya menyeringai tidak suka. "Nggak bisa baca lo, ya?"
"Bisa, lah," balas pemuda itu dengan bangga.
"Terus!"
"Quinsha," ujar pemuda itu dengan nada pelan dibarengi senyum yang menawan. Mungkin, setiap wanita yang melihat dan menatapnya, pasti akan jatuh hati. Tapi tidak dengan Quisha. Cewek galak, judes, cuek, bodo amat, dan tidak akan pernah luluh dengan cowok mana pun termasuk yang kini sedang berhadapan dengannya.
"Terus kenapa lo panggil gue Ratu?"
"Queen itu, kan, artinya ratu. Makanya gue panggil lo Ratu. Biar beda, gitu."
"Itu Q-U-E-E-N," eja Quinsha. "Dan gue Quinsha. Q-U-I-N-S-H-A! Bukan Queen apalagi Ratu. Ngerti!" Dengan kasar Quinsha pun menepis lengannya yang tadi masih dipegang pemuda aneh itu.
Quinsha pun pergi meninggalkan pemuda itu tanpa kata-kata lagi. Langkahnya bisa terbilang lebar karena sudah merasa risi berada lama-lama di sini dan berbincang hal yang tidak penting dengan orang asing.
"Lo nggak nanyain nama gue? Gue Arfan! Temen sekelas, lo!" seru pemuda itu dengan lantang. Tapi percuma, Quinsha sama sekali tak menoleh dan bahkan sudah menghilang di balik tembok. Dia sudah berbelok ke arah tempat parkir untuk bergegas pergi meninggalkan sekolah menggunakan sepeda motornya.