Sekeras dan sekuat apa pun aku, aku juga memiliki rasa takut.
- Quote by shaffaifa
"Tapi, Ma!" tolak Esa ketika mendapat perintah dari Divana.
"Sudah. Jangan banyak alasan. Mumpung masih jam 8. Mama yakin, Quin belum makan malam."
Entah mengapa, ketika memasak sore tadi, tiba-tiba saja Divana teringat tentang Quinsha. Untuk itu Divana memasak lebih dari biasanya. Agar bisa disisihkan untuk Quinsha. Jelas saja menyuruh Esa untuk mengantarnya.
Bukannya Esa malas mengantar makanan pesanan mamanya itu ke rumah Quinsha, hanya saja Esa sedang malas berdebat dengan Quinsha. Tahu sendiri bukan, Quinsha selalu menunjukkan wajah tidak sukanya kepada siapa pun yang datang menemuinya. Itu juga berlaku untuk Esa. Tidak peduli walaupun keluarga mereka saling mengenal satu sama lain.
Tidak akan ada cara lain untuk menolak Divana, mau tidak mau Esa pun mengambil kunci mobil milik Aji yang terletak di atas meja makan. Kebetulan mereka baru saja selesai makan malam bersama. Dan Aji baru saja naik ke atas menuju kamarnya. Mungkin Aji begitu lelah setelah seharian berada di kantor. Sampai lupa membawa kembali kunci mobil itu di tempat semula. Yang biasanya selalu dibawa ke dalam kamarnya. Karena Esa yang memang jarang membawa mobil. Hingga tidak akan ada satu pun yang menanyakan di mana kunci mobil terletak.
"Ya udah, mana?" tanya Esa malas.
Divana pun menyodorkan plastik putih kepada Esa yang berisi masakan buatannya. "Sudah sana buruan."
Saat menuju garasi mobil pun, Esa tak hentinya menggerutu atas sikap mamanya yang terlalu peduli kepada Quinsha. "Yang anaknya itu sebenernya gue atau Quin, sih. Mama pilih kasih banget."
❤❤❤
Esa menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Quinsha yang terbilang cukup besar tapi sepi. Seperti tidak berpenghuni sama sekali.
Awalnya Esa ragu untuk mengetuk pintu rumah Quinsha. Karena berpikiran Quinsha tidak berada di rumah. Rumahnya sangat gelap gulita. Apa mungkin Quinsha tidak ada di rumah? Lalu pergi ke mana malam-malam begini.
Tok.. Tok.. Tok..
"Quin? Lo di dalem, kan?" seru Esa memanggil Quinsha.
"Ini anak kebiasan emang. Nggak cukup sekali kalo dipanggil. Gue dobrak juga nih, pintu!" gerutu Esa mulai kesal.
Bolak-balik Esa memanggil, tapi tak ada sahutan apa pun dari dalam. Esa berdecak kesal dan mencoba membuka knop pintu sembari kembali memanggil. "Qui.." Esa menghentikan panggilannya ketika tanpa Esa ketahui, pintu itu terbuka ketika Esa membuka knop pintu. Yang Esa pikir terkunci dari dalam.
"Pintunya kebuka," ucapnya. "Apa mungkin Quin di dalam dengan keadaan rumahnya gelap begini?"
Tanpa pikir panjang, Esa memasuki rumah Quinsha dengan perlahan. Seraya masih terus memanggil-manggil pemilik rumah.
Esa pun berjalan menaiki satu per satu anak tangga yang hanya menggunakan penerangan dari cahaya kamera ponselnya. Mencoba mencari-cari di mana kamar Quinsha. Mungkin saja Quinsha tertidur dan lupa mengunci pintu rumahnya. Bagaimana kalau ada maling masuk?
Tepat ketika Esa menghentikan langkahnya, sepasang matanya tanpa sengaja melihat huruf Q perak begitu besar melekat pada pintu kamar berwarna kecoklatan. Mungkin ini kamar Quinsha.
"Lo di dalem, Quin?" Esa mencoba bersuara. Tetapi tetap saja. Panggilannya tetap dicuekin. Tidak ingin suaranya habis sia-sia, Esa pun memberanikan diri membuka pintu kamar yang Esa pikir kemungkinan itu adalah kamar milik Quinsha.