Aku memang harus mulai belajar merelakan yang memang tidak akan didapatkan.
-ifashaffa
Pikirannya kali ini begitu sangat mengganggu. Sikap Esa padanya siang tadi usai mengantarkannya pulang sekolah, benar-benar membuat Quinsha kualahan menata hati dan pikirannya. Benar-benar baru kali ini terjadi.
"Gimana?"
Tiba-tiba saja Arfan datang entah dari mana dan sudah ada di dalam kamar Quinsha. Duduk di tepi kasur mendekati Quinsha yang sedang berbaring dengan posisi menelungkup.
"Eh," sontak Quinsha mengubah posisi tidurnya menjadi duduk bersila. "Ngapain lo masuk ke kamar cewek tanpa permisi!" Quinsha berkata dengan ketus.
"Apa salahnya? Lo kan Adek gue."
"Tapi kita nggak kandung. Bisa aja otak lo mesum."
"Astagfirullah, Quin." Arfan berucap. "Nggak mungkin gue tega ngelakuin itu sama orang yang gue sayang," lanjutnya.
"Maksud lo?"
"Ekhm, maksud gue." Arfan mulai meralat ucapannya barusan yang tanpa sengaja tidak dapat mengerem mulutnya. "Lo sekarang kan udah jadi adik gue. Otomatis gue harus mulai sayang sama elo kan. Sama kaya gue sayang ke Ingga."
"Ohh. Gitu."
"Hmm."
"Jadi gimana tadi? Esa nggak ngapa-ngapain elo kan?" Arfan kembali ke tujuan utamanya. Bertanya pada Quinsha tentay Esa dan juga Quinsha.
"Ya nggaklah. Dia nggak seburuk itu juga." Entah ada makanan apa yang menyangkut di tenggorokannya, hingga tanpa disengaja Quinsha membela Esa.
"Nggak salah? Tumben lo belain dia. Hmm, lo suka kan sama dia?" goda Arfan.
Karena disudutkan, dengan refleks Quinsha melempar bantal yang berada di dekatnya pada Arfan "Ngawur! Nggak mungkinlah. Bisa-bisa gue dibunuh sama pacarnya."
Arfan pun tak dapat menahan tawanya dengan sifat Quinsha yang sebenarnya sangat lucu.
Ternyata benar, merelakan bukan berarti melepaskan. Persaudaraan dan pertemanan yang tulus akan menjadi kedekatan yang tak akan ada habisnya. Akan menjadi kedekatan yang paling sempurna.
💀💀💀
Sementara di tempat lain, malam ini Esa sudah berada di rumah Teana; kekasihnya. Sesuai dengan ucapannya tadi siang di telepon, kalau dirinya akan menjumpai Teana di rumah. Atas permintaan maafnya yang tidak menepati janji.
"Masih marah?"
Teana masih saja diam dengan wajah ditekuk sejak kedatangan Esa ke rumahnya. Gadis itu hanya duduk bersebelahan dengan Esa di ruang tamu tanpa mau menyapanya lebih dulu.
"Jangan kaya anak kecil," Esa kembali melontarkan ucapan.
"Kamu ke mana sih tadi siang? Sampe lupa sama janji kita."
"Mama nyuruh aku buat anter anak temennya pulang sekolah." Esa menjawab jujur.
"Cewek?"
"Iya."
"Cantik?"
"Nggak mungkin dia ganteng."
"Aku serius, Sa."
"Te, kamu kenapa sih? Cemburu? Lagian aku sama dia juga nggak ada apa-apa."
"Sekarang. Besok, lusa, seterusnya? Kita nggak tau kan?" Teana hampir tersulut emosi.
"Kenapa harus ngomongin besok ataupun lusa yang emang kita nggak tau gimana ke depannya. Yang penting sekarang aku sama kamu kan?!" Esa kembali menjelaskan.