Chapter 13

454 35 3
                                    

Kenapa gadis pertama yang berhasil membuatku tergila-gila, kini harus kurelakan seutuhnya?

-Arfan

Dari shubuh sampai tengah hari, rumah Quinsha yang biasanya sepi dan seperti tidak berpenghuni, kini terlihat lebih berwarna seperti pelangi.

Hanya ada Emma dan beberapa orang pekerja panggilan untuk membantu membenahi isi rumahnya. Sementara ketiga anaknya: Quinsha, Arfan, dan Ingga masih berada di sekolahnya masing-masing.

"Aku nggak menyangka, akhirnya aku bisa tinggal dengan anak kandungku juga. Mama janji, Quin. Mama pasti nggak akan pernah tinggalin dan sia-siain kamu lagi," gumam Emma sembari membereskan pakaian-pakaian dari dalam koper ke dalam lemari.

💀💀💀

"Lo berangkat bareng Arfan?" tanya Esa ketika baru saja memasuki kelas dan duduk di bangkunya.

Kebetulan Quinsha sudah berada di dalam kelas. Duduk seraya sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang dia lakukan.

Quinsha pun hanya menganggukkan kepalanya. Matanya masih saja tidak berpaling dari ponsel yang sejak tadi di genggamannya.

Esa tidak ingin peduli dengan itu sebenarnya, tapi entah mengapa, aneh juga rasanya melihat Quinsha yang biasa selalu ke mana-mana sendiri, pagi ini mengejutkan pikirannya. Satu mobil dengan Arfan ke sekolah. Ingin kembali bertanya, tapi dirasa percuma. Toh itu bukan urusannya. Quinsha juga pasti akan kesal dan marah-marah karena ada orang yang ingin tahu apa pun dalam hidupnya. Apalagi saat ini gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya. Tidak akan mendapat jawaban juga kalaupun ditanya.

"Nyokap sama yang lain udah tinggal di rumah."

Awalnya Esa ingin menyibukkan dirinya membaca buku sambil menunggu bel masuk sekolah berbunyi. Tapi Esa batalkan karena Quinsha yang tiba-tiba bersuara. Jawaban itu keluar dengan sendirinya dari mulut Quinsha. Jawaban yang sangat mengganjal di kepala Esa sejak tadi.

"Lo udah nggak apa-apa?"

Quinsha menoleh ke sumber suara. "Emang gue kenapa?"

"Iya yang gue tau, lo kan menolak dengan garis keras untuk tinggal sama nyokap lo. Gue kira kemarin itu lo bercanda."

"Apa pun yang udah keluar dari mulut gue, berarti itu nyata. Dan bukan bercanda!" ucap Quinsha dengan tegas.

"Iya syukurlah. Gue ikut seneng."

Dalam percakapan mereka berdua, diam-diam ada memerhatikan dari kejauhan. Arfan.  Jika boleh jujur, Arfan sedikit merasa iri dengan Esa dan Quinsha yang semakin lama semakin dekat saja. Esa memang terlalu pintar untuk mendekati gadis jutek itu. Meskipun berkali-kali mereka beradu argumen, tetap saja, mereka berdua akan kembali akrab. Dan untuk saat ini, apa pantas jika Arfan merasakan api cemburu? Apa boleh? Bukankan saat ini sudah tidak diperbolehkan. Bahkan, sangat tidak diizinkan. Seharusnya Arfan harus sadar, kalau saat ini Quinsha adalah keluarganya. Dia adalah adiknya. Meskipun hanyalah adik tiri. Tidak seharusnya Arfan menyayangi Quinsha lebih dari seorang itu bukan?

💀💀💀

"Iya, jangan lupa datang, ya, nanti malam. Anggap aja syukuran karena akhirnya saya bisa tinggal lagi bersama anak kandung sendiri."

"Pasti, Mbak. Saya nanti akan bicara sama Mas Aji untuk datang makan malam sama
Mbak Emma dan yang lainnya," sahut seseorang di ujung telepon.

"Jangan lupa, ajak Esa, ya, Mbak."

"Pastilah, Mbak. Saya pasti akan ajak Esa."

Percakapan di antara dua orang Ibu pun diakhiri ketika Emma mendapat telepon dari mantan suaminya. David. Karena meskipun mereka sudah bercerai dan sudah memiliki keluarga masing-masing, tapi David juga tidak lupa mengucapkan kata selamat kepada mantan istrinya. Davin juga ikut bahagia, karena Quinsha akhirnya mau kembali tinggal dengan ibunya.

Sementara di tempat lain, saat ini Quinsha sedang duduk menyendiri di atas atap  sekolah paling akhir. Lantai 5. Menyandarkan tubuhnya sembari menatap lurus ke atas langit. Dengan wajah tanpa ekspresi sedikit pun. Tapi lima detik kemudian, Quinsha membenarkan duduknya karena ada sesuatu yang membuatnya merasa gerah. Quinsha pun ingin membenahinya. Namun sayang, ada orang lain yang lebih dulu membantunya.

"Bentar. Biar gue benerin."

Ini bukan seperti Quinsha yang biasanya. Dia hanya diam mematung ketika orang lain berani memegang dan mengikat rambutnya yang tadi terputus. Bahkan, Quinsha merasa nyaman. Tidak ada niat sedikit pun untuk menolak orang itu menyingkirkan kedua tangannya yang saat ini sedang sibuk mengikat rambutnya. Ini pasti ada yang salah.

"Lo juga aneh. Rambut lo itu tebel. Tapj ikat rambut pakai yang tipis begini."

"Ck." Quinsha berdecak dan kembali seperti Quinsha yang biasa. Quinsha menjauhkan kepalanya dari tangan Esa yang entah dari kapan ada di sini. Lagi pula, Esa juga sudah selesai membenahi rambut Quinsha. "Apaan, sih! Lo ngikutin gue, ya?!"

Esa menatap lurus Quinsha. Lalu tertawa kecil karena merasa geli dengan ucapan gadis yang duduk di depannya.

"Siapa yang ngikutin, lo. Gue tadi nggak sengaja liat lo ke sini."

"Terus lo juga ke sini?"

"Iya," jawab Esa enteng.

"Sama aja lo ngikutin gue, Sa."

"Iya terserah lo, lah!" Esa menjawab cepat karena memang dia tidak suka berdebat dengan Quinsha. Karena mau bagaimanapun, tetap saja seorang Quinsha tidak pernah mau mengalah. Cewek selalu benar dan cowok selalu salah.

"Lo ngapain, sih, di sini."

"Bukan urusan lo!"

Esa menghela napasnya mencoba menahan amarah. Kalau bukan karena ingat dengan ucapan mamanya yang harus baik dengan anak dari sahabat mamanya itu, Esa juga sebenarnya malas selalu berhadapan dengan gadis di depannya ini. Yang tidak pernah mau mendengarkan orang lain. Dan selalu tetap kekeuh dengan pendiriannya.

"Quin, bisa nggak sih, lo sedikit ramah sama orang lain. Karena nggak semua orang, bisa tahan bicara sama lo kecuali gue. Yang berkali-kali ditolak untuk mencoba berteman, padahal orang itu nggak ada maksud lain sama lo."

"Gue juga nggak pernah maksa lo buat jadi temen gue. Gue nggak butuh orang yang terpaksa temenan sama gue." Quinsha segera menyahut. "Gue tau, kok. Lo baik sama gue, karena nyokap lo yang nyuruh. Kalo bukan karena nyokap lo, lo juga akan pernah peduli sama gue, kan?."

Esa diam mendengarkan ucapan Quinsha dengan saksama. Esa juga tidak dapat mengelak kali ini. Walau bagaimanapun, ucapan Quinsha memang ada benarnya.

"Tapi makasih loh. Kalo selama ini, lo ada buat gue. Lo tetap sabar dan bertahan, meskipun gue selalu bersikap kasar sama lo. Iya walaupun gue tau, nyokap lo yang nyuruh." Quinsha menarik napasnya sejenak dengan perlahan, sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya yang belum selesai. "Dan mulai sekarang, lo nggak perlu lagi tanya gue kenapa dan ada apa. Karena gue udah biasa kayak gini. Gue biasa sendiri. Gue udah biasa nggak ada yang peduli. Jadi lo nggak usah khawatir."

Tidak ingin lagi menjelaskan. Karena bagi Quinsha, ucapannya barusan sudah cukup jelas, Quinsha pun bangkit dari duduknya dan lebih dulu pergi meninggalkan Esa yang diam melihat kepergian Quinsha.

"Apa gue terlalu jahat, ya, sama dia. Kenapa gue sekarang justru ngerasa bersalah sama dia?" ujar Esa pada dirinya sendiri.


Wah, ada apa, ya, dengan Quinsha dan Esa. Tunggu part selanjutnya, ya. Sori kalau update selalu lama. Harus bagi waktu sama kerjaan soalnya hehe.

Jangan lupa untuk di read, like, and comment-nya, ya. Terima kasih ❤❤❤

Ditunggu, ya, update-an selanjutnya.

Quinsha (S E L E S A I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang