Mungkin, memang kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Mungkin, aku dan kamunya saja yang terlalu memaksa untuk kembali menjalin cinta.
-ifashaffa
"Ke mana aja kamu, ditelepon dari tadi nggak diangkat!" Celetuk Teana kesal kepada kekasihnya.
"Latihan band."
"Latihan apa nganterin pulang tu cewek lagi."
"Kamu kenapa sih, Te?" Ujar Esa dengan lembut. Jujur dia malas jika harus berdebat dengan Teana terus-menerus.
"Pasti tadi sekalian anterin tu cewek kan!"
"Teana. Tadi aku latihan band. Dan cukup. Jangan selalu bawa-bawa Quinsha di hubungan kita. Dia sama sekali nggak salah."
"Belain aja terus, Sa. Belain! Aku capek! Aku mau balik ke Bali besok. Dan aku rasa, kita emang nggak bisa sama-sama kayak dulu lagi. Kamu berubah!" Usai mengatakan itu, Teana melengos pergi. Sementara Esa hanya terpaku tanpa mengejar Teana yang sudah hilang di balik pintu rumahnya.
Usai latihan band seperti yang dikatakan Esa barusan, dirinya memang mengantar Quinsha ke rumahnya. Bukan tidak ingin jujur, hanya saja Esa memang tidak ingin semakin memperumit hubungannya yang memang sudah rumit dengan Teana. Dan setelah itu, dirinya memang langsung menghampiri di kediaman kekasihnya. Bukan. Sekarang bahkan sudah menjadi mantan kekasih.
Tapi apa yang dia dapat. Hanya api amarah yang keluar dari mulut Teana. Tapi anehnya, Esa sama sekali tak merasa sakit hati seperti ketika dia dan Teana memutuskan hubungan pertama kalinya. Esa hanya bisa pasrah saja sekarang.
***
Sudah dari pagi ketika Esa datang ke sekolah, sampai sekarang akan pulang sekolah, Quinsha memerhatikan Esa yang sejak tadi hanya diam tanpa sebuah omongan.
Quinsha sibuk dengan buku-bukunya yang beserakan di atas meja. Karena memang sudah waktunya jam pulang. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Esa mau pun Quinsha. Mereka berdua hanya saling diam satu sama lain.
"Udah selesai, Quin? Pulang, yuk!" Ajak Arfan.
Tentu masih ingat kan, kalau mereka memang saat ini sudah satu rumah."Duluan aja, deh. Gue mau naik busway," sahut Quinsha sambil berdiri. Sudah segera ingin berjalan.
"Alah. Bilang aja mau barengan sama Esa kan? Ayo ngaku. Jujur, deh," goda Arfan seraya mengusap-usap rambut Quinsha dengan gemas.
Segera saja Quinsha menepisnya. "Nggak usah ngaco!"
Tidak ingin kembali mendengar omong kosong dari Abang tirinya, Quinsha pun segera pergi dengan wajah sedikit kesal. Sementara Arfan justru sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun.
"Gue duluan, Sa. Hati-hati kalo anterin Adel gue pulang." Masih dengan tawa manisnya, Arfan pun berjalan keluar dari kelas.
Sementara Esa memang masih duduk di bangkunya. Sama sekali tidak menggubris percakapan Arfan dan Quinsha barusan. Dirinya juga sama sekali tidak memedulikan ucapan dari Arfan
Benar saja, saat ini, di halte tepat di depan sekolah, ada gadis manis dengan wajah datarnya, duduk menatap lurus ke arah depan. Menunggu busway lewat dan berhentilah.
Sebenarnya, Arfan sudah kembali mengajaknya untuk pulang. Tapi Quinsha tetap menolak.
"Belum pulang?"
Sedikit terkejut, ketika ada suara seseorang menerpa gendang telinganya. Quinsha menoleh sebentar, lalu kembali fokus menatap ke depan. Gadis itu hanya menggeleng beberapa saat.