Chapter 14

221 19 1
                                    

Ketika seseorang di masa lalu kembali hadir, perasaan apa yang harus diberikan? Mendekat, atau menghindar?

- Esa

"Fan, ini kan bukan arah jalan pulang. Kita mau ke mana?" tanya Quinsha ketika sadar kalau Arfan yang sedang mengemudikan mobil, melaju ke lain arah.

"Ke sekolah Ingga."

"Oh iya. Gue lupa!" Quinsha berucap dengan wajah datarnya. "Gue masih nggak nyangka, sih, kalo lo itu jadi saudara gue. Lucu aja gitu. Dari sekian banyak manusia, kenapa lo yang harus jadi saudara tiri gue. Sempit banget dunia ini," sambungnya.

"Apalagi gue. Gue bahkan berharap, bisa tukaran posisi sama Esa. Dia yang jadi saudara lo. Dan gue yang bisa deket sama lo. Supaya gue bisa anggap lo, lebih dari sekadar saudara."

Namun sayang, itu hanyalah hati Arfan saja yang berani bicara. Sedangkan saat ini, Arfan hanya sibuk mengemudi dan pura-pura tidak merespons ucapan Quinsha. Dan Quinsha pun tidak peduli dengan itu. Bahkan saat ini, gadis itu lebih memilih memejamkan matanya di dalam mobil karena merasa sangat lelah.

Arfan sendiri juga bingung. Harus bersikap bagaimana dengan Quinsha. Rasanya aneh sekali jika harus bersikap manis seperti biasanya. Sebelum dirinya mengetahui, kalau saat ini mereka berdua sudah memiliki ikatan keluarga. Rasanya masih sangat asing. Rasanya Arfan sama sekali belum yakin dan percaya, kalau mereka adalah saudara.

💀💀💀

"Serius, Mas. Nggak ada warna lain ini? Saya maunya warna abu-abu."

"Maaf, Mbak. Kebetulan, stok udah nggak ada lagi. Tinggal warna ini. Tapi ini bagus juga kok, Mbak warnanya."

"Tapi saya itu nggak suka warna ungu."

"Ungu-nya juga tidak norak, kok, Mbak warnanya. Tidak terlalu mencolok. Dan cocok sama warna kulit Mbak yang putih itu."

"Tapi saya maunya tetep abu-abu." Masih saja, wanita berambut panjang dengan keriting bagian ujung rambutnya, memaksa seorang pria yang tidak lain adalah seorang karyawan distro itu, mencarikan dan meminta warna cardigan sesuai keinginannya.

Padahal, jelas-jelas karyawan distro itu bahwa cardigan yang ingin dibelinya itu hanyalah tinggal satu warna.

"Ada apa, sih, Dit?"

Tiba-tiba terdengar suara tidak asing seseorang dari pintu masuk toko. Kepalanya masih ditutup helm dengan kaca terbuka. Seragam sekolahnya masih dibalut dengan sebuah jaket hitam dengan resleting terbuka.

"Eh, Mas. Udah pulang sekolah?" tanya Adit si karyawan kepada pemilik distro yang baru saja datang. "Ini, Mas. Mbak ini pengen beli cardigan tapi dengan warna lain. Tapi saya sudah bilang, kalo cardigan ini tinggal warna ungu, dan tidak ada warna abu-abu. Tapi Mbak-nya nggak percaya." Adit mencoba menjelaskan kepada Esa.

Esa pun berjalan mendekat ke meja kasir, tempat Adit dan seorang pembeli yang masih ingin membeli cardigan sesuai warna keinginannya.

Setelah sampai, Esa melepaskan helm di kepalanya. Lalu diletakkannya di atas meja kasir.

Ketika ingin menjelaskan kepada pembeli itu, Esa tiba-tiba terdiam. Bibirnya kelu. Tatapannya datar. Ingin tidak percaya rasanya. Bahwa apa yang dilihatnya siang ini adalah nyata, atau hanya sekadar halusinasi saja. Entah suasana apa yang dapat dideskripsikan dengan perasaannya saat ini. Sedih atau bahagia.

"Teana."

Gadis itu juga sangat terkejut melihatnya. Terlihat jelas sekali di raut wajahnya yang cantik itu.

"Esa."

Sementara Adit, karyawan yang melayani wanita itu sedikit terkejut. Kalau ternyata, mereka berdua saling mengenal.

Quinsha (S E L E S A I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang