Chapter 22

91 17 0
                                    

Hey, jangan menatapku seperti itu. Hanya membuatku malu.

-ifashaffa

"Jangan lupa, ya, Anak-anak. Ibu kasih waktu satu bulan untuk mempelajarinya," jelas Ibu Nida; guru mata pelajaran Kesenian.

"Baik, Buuuuu," sahut siswa-siswi bersamaan.

***

Quinsha sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pelajaran sekolah hari ini benar-benar melelahkan. Kepalanya serasa ingin pecah. Tapi mau bagaimana, itu adalah kewajiban sebagai seorang siswi.

Lalu dirinya merogoh benda pipih yang terletak di dalam tasnya. Yang sebenarnya sejak tadi sudah berdering tapi enggan untuk mengangkatnya.

Benda itu kini sudah berada di genggaman tangan Quinsha. Masih terus menatap nama kontak yang saat ini tertera di layar ponselnya "Arfan".

"Halo."

"Quin, mau kolding nggak?"

"Jadi lo nelpon gue cuma mau tanya mau kolding atau nggak?!" Quinsha sedikit kesal karena Arfan meneleponnya hanya untuk hal yang kurang penting menurutnya.

"Ya entar, kalo gue beli, terus elo nggak suka kan mubazir namanya, Quin." Arfan menyahut dengan santai.

Quinsha hanya menghela napasnya dengan kasar. "Terserah lo."

"Ya udah, deh. Gue beliin yak. Lanjut istirahatnya adikku."

Tut.. tut..

Sambungan terputus.

"Nyebelin banget dah si Arfan." Gadis itu pun kembali meletakkan ponselnya asal. Tepat di sebelah kepalanya dibaringkan.

Belum lama ia letakkan, benda pipih itu kembali berdering. Baru saja Quinsha lima detik memejamkan mata, benda di sebelahnya sudah kembali mengganggu. Rasanya ingin sekali melempar benda tersebut.

"Ada apa lagi, sih, si Arfan." Dengan malas Quinsha menekan tombol hijau lalu menjawab. "Ada apa lagi, sih, Fan?! Lo ganggu istirahat gue aja tau, nggak?"

"Eh sori. Gue nggak tau. Tapi ini bukan Arfan. Gue Esa."

Quinsha memundurkan kepalanya dengan mata menyipit. Diliriknya ponselnya dan benar, ternyata Esa yang saat ini sedang menghubunginya. "Oh, elo."

"Ganggu, ya?"

"Hmm, sedikit."

"Ya udah, deh, lanjut aja istirahatnya. Entar gue  telpon lagi." Esa merasa nggak enak.

"Lo itu udah ganggu gue sekarang. Udah buruan. Ada apa!?" Quinsha sedikit kesal.

"Entar malem gue mau ke tempat Boni. Mau ikut?"

Tidak ada jawaban dari sana. Esa jadi khawatir. Mungkin ajakannya salah.

"Oke. Tapi gue mau tidur dulu. Bye."

💀💀💀

Tok.. tok..

Baru setengah jam rasanya Quinsha terlelap. Dan saat ini dirinya sudah diganggu lagi. Siapa coba yang berani mengetuk pintu kamarnya sore-sore begini. Dan dengan malas, Quinsha bangkit dari baringannya dan menuju pintu kamar. Membuka kenop pintu dan..

"Nih, koldingnya." Arfan menyodorkan semangkuk kolding yang sudah dibelinya tadi.

"Arfan Lo ganggu gue terus dari tadi." Quinsha kesal dan merampas mangkuk berisi kolding dari tangan Arfan, hingga kuah kolding tersebut sedikit tumpah.

"Hehe. Sori-sori." Arfan nyengir kuda. "Udah. Dimakan gih, koldingnya. Biar seger. Biar nggak ngantuk," titah Arfan selanjutnya.

"Hmm," gumam Quinsha segera menutup pintu kamarnya.

"Gue nggak boleh masuk kamar Lo, nih." Suara berisik itu masih saja terus menggema di balik pintu kamar Quinsha.

"Nggak! Lo cowok," sahut Quinsha dari dalam.

"Tapi kan gue Abang, lo, Quin."

"Tiri tapi."

Tidak ingin memaksa, Arfan pun mengalah dan pergi dari hadapan kamar adik tirinya itu. Juga Quinsha duduk di meja belajar untuk menyantap kolding pemberian Arfan.

💀💀💀

Seperti janji yang sudah disepakati, Esa dan Quinsha kembali pergi ke rumah Boni. Quinsha pun tidak tahu. Dia hanya ingin ikut saja. Padahal, main musik pun tidak bisa.

Esa menjemput Quinsha dengan motornya. Dan dalam perjalanan, mereka berdua kompak saling diam. Hanya suara deru sepeda motor Esa saja yang berkumandang.

Mereka berdua kira, tidak akan seperti ini. Karena sebelum berangkat, cuaca sangat bagus dan cerah. Tapi masih di pertengahan jalan, tiba-tiba Quinsha dan Esa diguyur hujan yang tiba-tiba lebat. Akhirnya Esa pun memilih menepi di tempat yang sedikit beratap.

"Kok malah hujan, sih," gumam Esa lirih.

"Iya, kan, hujan emang suka dateng tiba-tiba." Quinsha menyahut.

"Kayak cinta."

"Ngomong apa, sih, lo!"

"Lo dibercandain dikit emang nggak bisa, ya, Quin. Heran! Jangan-jangan lo emang nggak pernah jatuh cinta," ujar Esa.

"Berisik! Hujan udah gede, dan lo makin banyak omong! Sama dengan berisik tauk!" Quinsha nyolot.

Esa memilih diam. Satu-satunya agar perdebatan tidak lagi terjadi, Esa memilih mengalah dengan perempuan yang sering sekali beradu argumen dengan dirinya.

Jauh di pikiran Quinsha, sebenarnya saat ini dirinya sedang teringat dengan Esa yang pernah memenangkannya ketika hujan. Ingat sekali saat itu. Meski dirinya suka marah-marah pada Esa, tapi Esa masih tetap peduli dengannya. Buktinya, saat akan pergi ke rumah Boni, Esa mau mengajak Quinsha.

"Oik, malah ngelamun!"

Quinsha pun tersadar dari lamunannya. Gadis itu menoleh pada pemuda yang berdiri di sebelahnya. Menatap lurus dengan tatapan penuh arti.

"Lo ngapain malah liatin gue, sih!" Esa kesal sekaligus bingung.

Quinsha menggeleng dan kembali menatap lurus ke depan. Tidak lama, kepalanya mendongak menatap langit dan hujan yang tak kunjung reda.

Quinsha kenapa, sih? Esa membatin.

Sedikit saja, nggak usah banyak-banyak. Nanti kamu rindu😜🤭

Ditunggu, ya, part selanjutnya..

Jangan lupa,

Dibaca

Like

Dan komentarnya.

Terima kasih 🙏♥️

Quinsha (S E L E S A I)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang