Kukira perasaanku saja. Nyatanya memang dia mulai berubah dan semakin istimewa.
"Selamat pagi Adek-adeknya Abang."
"Salah minum obat lo?!" Ujar Quinsha dengan sinis.
"Sejak kapan juga gue manggil Kakak dengan sebutan Abang. Halu kali ah." Ingga ikut menimpali.
Iya. Sudah menjadi kebiasaan sekarang, Arfan dikelilingi 3 wanita istimewa dalam hidupnya. Dan pertanggung jawabannya menjadi seorang pemimpin di rumah ini semakin besar. Apalagi, semenjak papanya meninggal. Dan satu adik perempuannya juga bertambah; Quinsha.
Arfan yang baru saja sampai di meja makan, dikeroyok oleh kedua adiknya. Jelas saja kalah.
Kini dirinya ikut duduk di meja makan. Perutnya yang sejak tadi sudah berisik, akhirnya akan ia isi juga.
"Yaelah, jahat banget kalian berdua," ucap Arfan sok mengiba.
Quinsha yang hanya geleng-geleng dan Ingga dengan memutar kedua bola matanya sebal.
"Sudah-sudah. Kalo berdebat terus, kapan makanannya dihabisin. Nanti kalian telat berangkat ke sekolah loh." Akhirnya Emma pun ikut bersuara.
"Iya, Ma." Sahut Arfan dan Ingga berbarengan. Sementara Quinsha hanya diam karena di dalam mulutnya masih melumat makanan.
Seusai melaksanakan sarapan pagi seperti biasa, ketiga anak Emma pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Sementara Emma membantu asisten rumah tangganya membereskan piring-piring dan juga gelas yang baru saja ia gunakan bersama ketiga anaknya. Karena Emma, memang dikenal sebagai majikan yang sangat baik.
Baru saja ingin masuk ke dalam mobil, sepasang mata Quinsha tanpa sengaja memandang serius pengendara motor yang mendadak berhenti tepat di depan pagar rumahnya.
"Kayak kenal gue tuh orang," seru Arfan yang juga ikut memandang ke depan pintu pagar. "Esa bukan sih!" sambungnya.
Quinsha pun berjalan menuju pintu pagar untuk menghampiri pengendara motor yang diduga itu adalah Esa.
Sesampainya, Quinsha tak langsung membuka pintu pagar rumahnya yang menjulang tinggi. Sampai pada akhirnya, dengan sadar diri, si pengendara motor membuka kaca helmnya.
Setelah mengetahui siapa pengendara itu, Quinsha pun bernapas pelan seraya membuka pintu pagar.
"Ada perlu apa?" Tanya Quinsha datar tanpa basa-basi.
"Mau jemput lo." Esa menyahut.
"Nggak salah!?"
"Udah buruan naik, nggak usah banyak tanya."
Sebelum menyetujui ajakan Esa, Quinsha menoleh ke arah belakang. "Arfan, Ingga, gue duluan!" pamit Quinsha sedikit memekik.
"Jagain Adek gue, Sa!" Seru Arfan begitu lantang. Bisa-bisa, satu kompleks perumahan ini bisa mendengarnya.
Esa tidak menggubris. Dirinya justru semakin mengegas sepeda motornya, bermaksud menyuruh Quinsha agar segera naik.
Dalam hati, Quinsha hanya merasa aneh dan tidak enak terhadap kekasih Esa yang Quinsha ketahui bernama Teana itu. Apa mereka berdua sedang bertengkar hebat? Ahh. Tidak perlu diambil pusing juga bukan? Itu sama sekali bukan urusannya.
💀💀💀
Quinsha turun dari boncengan Esa, melepas helm lalu menyerahkan kepada pemiliknya.
"Thanks."
"Hmm."
Saat baru sekitar 3 langkah Quinsha berjalan, Esa bersuara hingga membuat langkah Quinsha berhenti sejenak.