.
.
.~Happy Reading~
.
.
.Awan kelabu menyelimuti seluruh langit, membelenggu bumi dalam kegelapan. Tidak ada kesejukan yang kurasakan dari hembusan angin, ketika ia menerpa tubuhku. Dingin. Seluruh tubuhku menggigil kedinginan, bukan hanya karena suhu udara yang menurun, namun lebih karena sensasi dingin yang tiba-tiba kurasakan dari benda tajam dan runcing yang menempel di punggungku, di balik kain baju yang kukenakan. Sebelum aku sempat menyuarakan pertanyaanku pada sosok tegap dan tinggi yang berada tepat di belakangku, tangan kanannya yang kuat dan kokoh telah terlebih dahulu menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
Bersamaan dengan kehangatan yang kudapatkan dari pelukannya, benda tajam dan runcing menerobos masuk ke dalam kulit punggungku, menusuk jantungku hingga menembus gaun putih yang kukenakan tepat di dadaku, barulah benda putih dan dingin itu berhenti bergerak. Aku menunduk dan menatap kosong pada dadaku yang telah robek dan mengeluarkan banyak darah, cairan merah yang kental itu perlahan menyebar di serap oleh gaun putih yang kukenakan, menciptakan ilusi indah dari bunga merah yang perlahan mekar.
Sementara tangan putih dan kuat yang melingkari perutku semakin mempererat pelukannya, menyebabkan pisau yang masih bersarang di dadaku ikut bergerak dan memperparah luka yang kuderita. "Ah!" Rasa perih dan nyeri yang berdenyut di dadaku membuat tubuhku menggigil, gemetar kesakitan.
Aku masih bersarang dalam dekapan hangatnya, namun hatiku perlahan-lahan mendingin.
"Tsu.." panggilku, lirih.
Ia tak menanggapi, hanya mendekapku lebih erat. Kakiku gemetar, lemah tak kuat lagi untuk berdiri, selama ia melepaskan pelukannya aku pasti akan terjatuh dan takkan mampu untuk bangkit kembali. Namun, ia tidak melakukannya.
Perlahan aku kesulitan untuk bernafas, kukumpulkan kekuatan untuk menggenggam lengannya yang memelukku. Kursakan tangannya bergetar sesaat, kemudian kembali tenang.
Mataku tersa panas, hidungku seolah tersumbat. Kupaksakan menahan laju air mata yang ingin mengalir turun, mencoba untuk bertahan dari raa sakit agar tidak kehilangan kesadaran.
"Tsu.." bisikku kembali. Ia sedikit membungkuk, lalu kurasakan sentuhan dingin di daun telingaku. Ia menciumnya.
Semakin lama aku semakin lemah, hingga air matakupun jatuh, aku menangis diam-diam sambil mencoba bernafas lewat mulutku, "kenapa?" Terbersit luka dalam tanyaku.
Aku terkekah, namun segera terbatuk, darah mengalir diujung bibirku, turun sepanjang garis rahangku. Seberkas ironi melintas dalam pandanganku, kenapa? Kenapa kau melakukan ini? Mengapa? Padahal aku telah melakukan segalanya untukmu, aku mencitaimu hingga aku buta dan tak pedulu pada dunia. Tapi mengapa? Mangapa Tsu..
Ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya, namun aku tak mampu sebab rasa sakit menjelang kematian begitu menyakitkan, hingga aku tak mampu menyuarakan sepatah katapun, hanya dengkuran menyakitkan yang keluar dari mulutku.
"Maafkn aku.." kudengar ia berbisik disamping telingaku, suaranya bergetar menghantarkan arus listrik ke seluruh tubuhku, menyakitiku hingga aku mati rasa.
"Eva.. maafkan aku.." aku bingung, bertanya-tanya apakah ia mempermainkanku? Jika enggan, jika ia merasa sakit, lalu mengapa melakukan ini padaku.
"Aku sangat mencintainya..tapi kau adalah orang yang berharga untukku.." dia melanjutkan, membuatku tertegun sejenak. Lalu sebuah pemikiran terlintas di benakku, senyum mengejek terukir di bibirku, rasa sakit di dadaku berubah menjadi kemarahan, kebencian, dan ketidak berdayaan.
"Apa? Apa bagusnya dia? Dia telah mati dua tahun lalu! Tapi kau! Kau! ..uhuk.." Tsu mendekapku, menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Ia diam, tak menjawab pertanyaanku, sementara aku terbatuk hebat, dan luka di dadaku semakin parah. Karena terlalu bersemangat, aliran darah didadaku semakin deras, aku berpikir mungkim sekarang ini wajahku terlihat pucat dan tidak enak di pandang. Setelah aku berhenti batuk, kutarik nafas dalam-dalam yang menyebabkan rasa sakit menusuk di dadaku berdenyut-tenyut. Aku heran, mengapa aku belum mati? Apakah ini hukuman untuk perbuatan burukku di masa lalu? Ingin sekali aku tertawa, aku tak peduli dengan dosa, tak juga peduli dengan karma yang kuterima. Namun, mengapa aku merasa sakit? Merasa enggan?
"..kau tahu.." dengan terengah-engah aku mencoba menggerakkan kepalaku, mencoba melihat wajahnya, namun aku terlalu lelah, sehingga aku tak mampu bergerak sedikitpun? "..aku juga sangat mencintaimu.." tapi mengapa? Pertanyaan terakhir menyangkut di tenggorokanku, aku takut bertanya, takut jawabannya akan semakin menyakitiku.
Kurasakan ia bergerak, lalu mengangkatku secara horizontal. Lalu kami sampai di sebatang pohon besar, ia duduk di bawahnya dan bersandar pada batang pohon itu. Ia menempatkanku di pangkuannya, lalu memelukku. Sekarang aku bisa melihat wajahnya dengam jelas, namun pandanganku mulai kabur.
"Aku tahu." Ia menoleh ke langit, melihat awan yang perlahan berubah kekuningan, ada pemandangan indah kota dengan matahari terbenam di sana, dikepung oleh awan gelap yang sedikit-demi sedikit menelan cahaya senja. Apakah ia memilih tempat ini untuk menjadi pemakanamku? Tempat terakhir kali aku bisa bersama dengannya? Dia merencanakan dengan sangat indah, sangat romantis.
Aku tersenyum kecil, menatapnya yang tak pernah menatapku.
"Aku tidak menyesal.." aku berbisik lirih padanya, aku tidak menyesal melakukan dosa itu tahun itu. Kurasakn tubuhnya bergetar, senyumku semakin dalam. Aku tahu, ia mengerti apa yang kumaksud.
Meski begitu, kau memilih cara seperti ini untuk membalasku. Tsu.. hatimu masih selembut dulu.
Lalu mataku perlahan mulai terasa berat, dan semuanya menjadi gelap.
.
.
.
.THE END
.
.
.KAMIS, 9 APRIL 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
STORIETTE
Short StoryWaktu ketat. Tak ada jeda tuk berhenti sejenak. Waktumu terlalu berharga tuk singgah dan melihatku. Namun, hei. Ku tak memintamu tuk menetap, tidak juga tuk bermalam di sini. Ku hanya memintamu tuk melihat, tuk mengamati, tuk meneliti. Mencermati se...