5

7.3K 775 5
                                    

"Pranpriya!!!" suara itu mengetuk gendang telingaku,

Aku memutar-mutar pandanganku untuk mencari pemilik suaranya sampai lelaki bertubuh mungil dengan kaos keren muncul di hadapanku, "Kunpimook!!"

"Mau es krim? Ibuku memberiku dua karena nilai ulanganku bagus, tapi aku cuma mau satu." dia memberiku es krim rasa stroberi,

Aku menerimanya dengan bahagia, "Terima kasih!!!"

Kami menghabiskan waktu sore di bawah pohon jambu di taman. Kunpimook memperlihatkanku gambarannya tentang prajurit-prajurit yang sedang menghormati bendera Thailand. Goresan pensilnya sangat apik, membuatku tidak percaya kalau itu adalah murni hasil karya anak kelas 2 SMP.

"Aku mau jadi prajurit seperti ini." dia menunjuk barisan prajurit di buku gambarnya,

Aku menatap wajahnya yang sedang terlihat kagum, "Asal tidak seperti ayahku."

Dia menatapku, "Kamu dipukul lagi?"

Aku menggeleng, "Aku sudah tidak dipukuli lagi, tapi dia bilang, dia tidak suka aku karena aku perempuan." aku bisa lihat dia terkejut, "Mungkin maksudnya, dia mengharapkan anak laki-laki, agar bisa tumbuh menjadi sepertinya dan meneruskan pekerjaannya membela negara."

"Tapi, kan sekarang banyak wanita yang membela negara juga? Kamu juga bisa jadi tentara!" suaranya agak melambung tinggi,

"Tapi aku lemah, lihat saja di sekolah, kalau tidak ada kamu aku pasti selalu dijahati oleh gadis-gadis populer itu."

"Ah, jangan pikirkan mereka! Pikirkan dirimu dan bagaimana caramu melawannya." dia menepuk pundakku, "Kamu itu sebenarnya hebat, Lisa."

Aku protes, "Yaaahh, kamu mulai memanggilku dengan sebutan itu lagi. Namaku kan Pranpriya!"

Dia tertawa melihatku, "Lisa. La Lisa. Lalisa Manoban." dia makin menjadi-jadi, "Aku suka namanya, terdengar sangat anggun, anggap saja itu panggilan khusus dariku."

"Kalau begitu aku mau panggil kamu Bambam." aku tertawa mendengar nama yang baru saja kuciptakan,

"Apa itu Bambam?!" dia juga ikut tertawa,

"Tidak tahu, namanya lucu, aku suka. Kalau kamu mau panggil aku Lisa, kamu harus membolehkanku memanggilmu Bambam!" aku mengepal tanganku dan mengarahkannya ke muka Kunpimook,

"Eh, i-iya!!" dia menutup wajahnya, berpikir kalau aku benar-benar mau memukulnya,

Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia yang tadinya ketakutan sekarang ikut tertawa juga. Sore hari kami sangat menyenangkan, aku bahagia punya sahabat seperti Kunpimook, yang sekarang akan kupanggil Bambam.

****

Langit sudah gelap dan aku baru sampai rumah. Ketika aku membuka pintu, ayah sudah berdiri sambil melipat kedua lengannya di dada, wajahnya tampak penuh emosi ketika menatapku yang basah kuyup, aku terkena hujan ketika dalam perjalanan pulang.

"Darimana?" suaranya berat dan penuh amarah,

"Maaf, tadi hujan jadi..."

"Bohong. Hujannya baru saja turun. Darimana?!" suaranya makin lantang, seperti petir di luar sana,

Mataku sudah berbinar, "Aku ke taman. Maaf, ayah. Aku janji tidak akan kesana lagi."

"Janjimu selalu sama." dia kini menarik lenganku kasar, membuatku kesakitan, "Dasar anak nakal! Kamu tahu kan ibumu sudah tidak ada?! Siapa yang akan mengurus rumah kalau aku tidak ada?!"

Suara tangisanku kini menyatu dengan hujan yang turun dengan deras, ayahku memukuli tubuhku dengan sapu lidi, membuatku teriak kencang ketika lidi-lidinya menyentuh permukaan kulitku. Perih. Tangisanku tidak akan berujung menahan sakitnya. Bagian-bagian tubuhku sudah merah sampai aku memberanikan diri untuk berteriak.

"Hukum aku di kebun saja, ayah! Hukum aku di kebun!"

"Kamu mau berdiri disana sampai pagi?" aku mengangguk dengan terpaksa, "Bagus, besok tidak usah sekolah." dia menelepon guruku dan berkata, "Halo, saya orang tua Pranpriya Manoban, mohon maaf, puteri saya sedang sakit jadi besok dia tidak bisa sekolah. Iya– terima kasih."

Aku berusaha menahan tangisku tapi tidak bisa, tenggorokanku mulai sakit dan suaraku mulai hilang. Ayah menarikku ke tengah kebun rumah kami dan menyuruhku untuk berdiri tegap, dia juga mengangkat tanganku untuk menghormati bendera Thailand yang kami miliki.

"Tetap dalam posisi ini sampai pagi." dia menoleh ke CCTV yang tertempel di sudut tembok rumah kami, "Itu menyala, dan merekam semua yang kamu lakukan."

Aku mengangguk sambil menyingkirkan air mata dengan tangan kiriku, ini lebih baik daripada harus dipukuli oleh sapu. Lagian aku sudah terbiasa berdiri selama setengah hari lebih, aku berharap bisa pingsan agar dia merasa bersalah.

Tapi sampai pagi hari, aku masih bisa berdiri tegap, hormatku tidak goyah sampai ayah kembali.

Dia kini menatapku dengan bangga, "Kerja bagus, prajurit Manoban." dia berjalan kearahku dan langsung memelukku erat,

Aku memejamkan mataku dipelukannya. Ketika aku membuka mata, aku sudah berada di kamarku, ada banyak makanan di atas meja belajar, dan sebuah kado. Jam menunjukkan pukul 12 siang, ayah pasti sedang bekerja. Aku duduk di hadapan banyak makanan, buah-buahan, pizza, burger, dan pudding. Aku memakannya dengan senyum lebar di wajahku. Setelah itu, aku membuka kadonya, ada baju tentara untuk anak seumuranku, dan sebuah surat:

"Untuk anakku tersayang,

Maaf kalau ayah adalah sosok ayah yang buruk dan kasar, maaf kalau setiap hari hatimu teriris dengan perkataan dan sikap ayah. Tapi dibalik semua itu, ada sosok ayah yang selalu mengkhawatirkanmu setiap kamu hilang dari pandangannya, ayah ingin kamu menjadi wanita yang kuat, yang bisa memerdekai dirimu sendiri.

Ayah tidak pernah menghukummu, itu hanyalah bagian dari cara ayah untuk melatihmu, menjadi pribadi yang tidak bisa di kalahkan siapapun. Ayah juga tidak memintamu untuk mengikuti jejak sebagai tentara, tapi kalau kamu mau, ayah akan mendaftarkanmu ke akademi militer dan melihatmu berkembang setiap harinya melalui surat dari kawan-kawan ayah disana.

Mulai dari sekarang, setelah melihatmu berdiri tegap selama dua belas jam dengan hormat yang tetap kuat, ayah akan berhenti melatihmu. Jika kamu nakal, hukumannya tidak akan seperti itu lagi. Sekali lagi, ayah minta maaf. Makanlah yang banyak dan cobalah seragam tentara yang ayah berikan sebagai hadiah dari kerja kerasmu."

Aku tersenyum, hampir menjatuhkan air mata. Aku tahu dia tidak seburuk yang aku kira, tapi tetap saja aku masih agak kesal dengan sikap abusifnya, aku harap dia akan memenuhi janjinya untuk tidak menghukumku seperti itu lagi. Setelah menggunakan seragam tentara dan melihat diriku di kaca, aku merasa ada sesuatu yang menginspirasiku.

Dua tahun kemudian, ayah tidak mendaftarkanku di Sekolah Menengah Atas, dia langsung mengirimku ke Akademi Militer, atas kemauanku sendiri.


Bulletproof Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang