12

6K 687 3
                                    

Kembali ke markas militer, aku berlari sekencang mungkin melewati koridor, sambil mengusap tengkukku yang masih sakit. Jika Jendral tahu anaknya ditangkap pasti aku akan digugurkan dalam misi. Aku masih berlari untuk mencari kawan-kawanku tapi sial, aku malah bertemu Jendral.

"Sersan! Mau kemana kamu?"

Aku menghentikan langkahku dan terpaksa menghadapinya, "Aku mau ke ruanganku."

"Kamu bahkan tidak kembali tadi. Katakan, ada apa?" dia menghampiriku, berdiri di hadapanku,

Aku menunduk, apakah aku harus mengatakannya? Tapi, bagaimana reaksinya nanti? Aku mengepal kedua tanganku, mencari keputusan yang tepat.

"Kemana Jennie? Apa kau bersamanya?"

Aku menggigit bibirku. Aku harus apa? "Jennie... Aku juga tidak melihatnya, aku baru saja mau mencarinya."

"Ya sudah kalau begitu, nanti suruh dia menemuiku." Jendral tersenyum sambil menepuk pundakku,

Dia berjalan meninggalkan diriku yang masih membeku, apa aku harus benar-benar berbohong? Tidak, sepertinya aku harus menanggung resiko karena tidak mengikuti Jennie sedari tadi. Aku harus jujur.

"Jendral." aku memanggilnya yang sudah berjarak sekitar belasan langkah dariku,

Dia berbalik, "Ada apa, sersan?"

"Jennie... Ditangkap. Aku kemari untuk mengambil peralatanku dan mencarinya."

Dia tidak menjawab, tapi wajahnya menjadi geram, aku tahu tidak ada ayah yang bisa terima pernyataan itu dari ajudan yang dia percaya bisa menjaga putrinya. Aku tahu dia marah besar.

"Maaf, aku harus bergegas–"

Beliau memotong perkataanku, "Tidak usah. Aku akan menyuruh Divisi 4 untuk mencarinya."

"Kalau begitu aku pergi bersama mereka."

"Tidak. Aku akan memulangkanmu ke Thailand besok." Jendral menghela nafas, seperti mencoba mengontrol emosinya, "Terima kasih atas kerjamu selama ini."

Dia berlari meninggalkanku sendirian di koridor. Membuatku tidak bisa bergerak sama sekali.

Aku dipulangkan? Aku tidak akan pulang jika tidak bersama timku.

Aku melanjutkan langkah untuk kembali ke ruang timku, dengan perasaan yang hancur dan mata yang menahan tangis. Aku tidak pernah menangis, terakhir kali adalah ketika aku mendapat kabar atas kepergian ayahku. Sesampainya disana, mereka lengkap terkumpul, termasuk kapten Nickhun.

"Lalisa." Bambam menjatuhkan pangkatku, "Ada apa?" aku tidak menghiraukannya, aku mengambil barang-barangku dan memasukannya ke tas, "Lisa, jawab aku. Ada apa?"

Aku menghapus air mataku yang terjatuh, berusaha untuk tidak menjatuhkan yang lainnya. Chantavit, Jirayu, bahkan Kapten Nickhun kini mengerumuniku, penasaran dengan apa yang terjadi sehingga membuat si wanita baja ini menangis. Ternyata, aku tidak sebaja yang selalu mereka katakan.

"Lisa, tenangkan dirimu dulu." Kapten Nickhun mengelus pundakku,

Aku spontan menjauhinya, "Kenapa kamu menyuruhku untuk bergabung dengan timmu?! Kenapa kamu harus mengirimku kesini?!"

Kapten Nickhun tertegun ketika aku membentaknya, "Lisa.."

"Aku tidak butuh berada disini! Tidak ada yang butuh aku disini, kan? Kalian bahkan tergabung dalam misi intinya, sedangkan aku hanya menjadi babysitter bodoh untuk bayi si Jendral itu! Aku tidak menginginkan ini, brengsek!" aku mendorong Kapten Nickhun, sungguh, aku keterlaluan jika sudah emosi,

Bulletproof Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang