2

8.1K 865 4
                                    

Mobil-mobil berlalu lalang di jalanan, suasana kota cukup padat dengan orang-orang yang sibuk berjalan untuk menghampiri tujuan masing-masing. Aku masih ada di dalam mobil–dengan baju casual, menunggu anak sang daejangnim keluar dari kampusnya. Sudah dua jam lima menit waktuku terbuang untuk menunggunya, siang menembus sore. Ponselku bergetar mengoyak lamunanku, ada panggilan masuk dari Kim Seon Ho daejangnim.

Aku mengangkatnya, "Lalisa Manoban."

"Saya sudah memecat semua bodyguard yang bekerja untuk Jennie." katanya dengan mantap,

"Memecat? Anda tidak memikirkannya lagi? Maksudnya, saya–"

Dia memotong perkataanku, "Saya lebih percaya kepada anda, sersan. Bukan hanya karena pangkat, tapi kinerja dan ketangkasanmu sudah terbukti. Ditambah, anda seorang wanita, saya tidak akan mengkhawatirkan apapun."

Aku menatap keluar jendela, takut melewatkan kehadiran Jennie, "Bagaimana jika saya butuh bantuan? Apa anda akan mengirim seseorang?"

"Tentu saja. Apapun akan saya berikan untuk anda." beliau tertawa canggung, seperti ada paksaan di dalam hatinya,

"Daejangnim, maaf, tapi puteri anda sudah pulang, saya akan menghampirinya dulu." aku menarik kunci mobilku,

"Baiklah. Terima kasih, sersan." daejangnim memutuskan panggilannya dengan cepat,

Aku keluar dari mobil dan berlari kecil, menyebrangi jalanan besar di depan Universitas Korea. Jennie sedang berjalan dengan sekumpulan pria dan wanita, mereka semua terlihat seperti teman-teman palsu yang hanya memanfaatkannya. Aku memasukkan kedua tangan ke saku jaketku sambil berjalan kearah kerumunan. Mereka semua bubar sebelum aku menyatu, meninggalkan Jennie sendirian dengan senyum lebar di wajahnya.

"Kim Jennie." sahutku,

Dia menatapku, senyumnya luntur seketika, "Nugu?"

Aku merogoh lencanaku di dalam saku, lalu memperlihatkannya kepada Jennie, "Teman barumu."

"Ah. Ajudan baruku, rupanya?" dia melipat kedua lengannya di dada, menatapku dari atas sampai bawah, "Kupikir seorang laki-laki tampan."

Aku mendengus, tahu dia tidak akan menerimaku dengan baik, "Aku tidak suka dipanggil ajudan."

"Yah, kenyataan memang pahit." dia berjalan melewatiku, terus berjalan tanpa menghiraukan kehadiranku,

"Apa kamu memperlakukan semua pengawalmu seperti ini?" teriakku dengan lantang, membuatnya berbalik dan menatapku tajam,

"Tidak juga. Aku memperlakukan mereka lebih buruk." dia melanjutkan langkahnya lagi,

Aku berlari mengejar ketertinggalanku dan menyamakan langkah kakiku dengannya, membuat kami berjalan sejajar di trotoar, "Namaku Lisa."

"Oke." aku tahu dia tidak peduli,

"Aku bawa mobil, aku akan mengantarmu pulang dengan mobilku." dia tidak menghentikan langkahnya jadi aku terpaksa menarik lengannya,

Dia spontan menepis tanganku dan menatapku dengan penuh amarah, "Pekerjaan para pengawalku dihentikan hanya untuk orang sepertimu! Menurutmu aku suka?! Mereka telah menemaniku dari aku masih berada di sekolah dasar, Lisa! Kamu mengusir mereka!"

Aku terdiam sejenak, mencari kata yang tepat untuk dilontarkan, "Kenyataan memang pahit, Jennie." aku mengikuti kalimat bodohnya, "Tapi kamu bisa menemui mereka kapanpun, dan aku tidak keberatan untuk mengantarmu."

Dia menarik nafas panjang, mengatur emosinya, "Temui aku di rumah, aku mau pulang sendirian."

Tidak memakan waktu lama, dia menghentikan taksi dengan lambaian tangan, dia menatapku dengan ekspresi yang tidak kumengerti sebelum masuk dan meninggalkanku sendirian di depan kampusnya.

***

Aku kini berada di rumah Jennie, walaupun kecil tapi rumah ini sangat mewah. Dia pasti sengaja membuat rumahnya kecil agar nyaman untuk dihuni sendirian. Rumahnya hanya memiliki satu kamar besar dengan king size bed dan fireplace yang berhadapan, ruang tamu dan dapur menjadi satu dan ditata dengan interior modern classic, TV nya berukuran 84 inch dengan sofa dan karpet mewah di hadapannya.

Jennie menepuk tangannya, membuat lampu di ruang tamu menyala dengan sendirinya, dia melempar tas chanel-nya sebelum merebahkan tubuhnya di sofa. Aku duduk di sampingnya dengan canggung. Wanita itu menganggapku sebagai hantu yang tidak bisa dilihatnya, dia sibuk dengan ponselnya sendiri.

"Jadi," aku berdehem, meminta perhatiannya, "Kenapa tidak tinggal bersama ayahmu saja?"

"Biar aku beritahu, orang asing tidak boleh bertanya perihal masalah pribadi." dia tetap tidak menatapku,

"Maaf."

Dia mematikan ponselnya dan menaruhnya di meja, lalu menatapku, "Kamu tidak seperti orang Korea."

"Aku dari Thailand."

"Sudah kuduga." dia kini berdiri dan meninggalkanku sendirian di ruang tamu,

Untuk beberapa menit, aku tidak menemukan remot TV-nya jadi hanya bisa menonton acara-acara bodoh yang tidak berguna. Mataku berat dan menghasut diriku untuk tidur, tapi aku selalu melawan. Tubuhku spontan berdiri tegap ketika Jennie memanggil, aku berhadapan dengan tubuh mungilnya yang sudah dalam balutan piyama abu-abu.

Dia mendengus melihat tingkahku, "Sebenarnya, apa yang kamu lakukan disini?"

"Menjagamu dari apapun yang kamu takuti." aku mengarang saja,

Dia tersenyum sebelum menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya. Kami berlari ke halaman belakang rumahnya dan berhenti di tepat di tengah kebun. Jennie menyuruhku untuk tetap berdiri di tempat aku berdiri sekarang, sedangkan dirinya kini berada di depan pintu.

"Aku selalu takut ketika melihat halaman belakang rumahku sendiri. Jadi, lindungi aku, juseyo."

Aku menelan ludahku, "Apa yang harus aku lakukan untuk melindungimu?"

Tanpa mengatakan apapun, dia meneriakkan aba-aba hormat kepadaku, aba-aba pertama kuabaikan, aba-aba kedua juga kuabaikan demi martabatku, sebelum dia menyahutkan aba-aba ketiga, dia mendekatiku.

"Dengar, Lisa. Kamu adalah pengawalku, aku berhak memerintahmu, bukan begitu? Kalau kamu tidak mengikuti perintahku, aku akan memberitahu ayah yang tidak-tidak tentang dirimu." aku menahan diriku untuk tidak mengatakan apa-apa, "Tantang aku kalau kamu mau kembali ke tanah airmu. Sekarang, hormatlah."

Dengan sangat terpaksa, demi melancarkan misiku, aku menaruh semua ujung jari tangan di pelipisku, menghormat entah untuk siapa, yang pasti bukan wanita brengsek itu. Dia kini sudah menjauh dariku, bahkan membalikkan tubuhnya untuk kembali ke dalam rumah.

Aku berteriak selantang mungkin agar dia bisa mendengar pertanyaanku dengan jelas, "Sampai kapan aku harus begini?"

Dia membalikkan tubuhnya sejenak, menatapku yang dia pikir seperti orang bodoh, "Sampai aku bangun dari tidurku."

Makhluk macam apa yang sedang aku lindungi? Sungguh, lebih baik aku bertempur bersama divisiku dibanding harus berurusan dengan orang sepertinya.

Bulletproof Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang