6

7K 789 6
                                    

"Bagaimana denganmu?" aku merebahkan tubuhku di tengah bundaran helipad,

Jennie duduk di sampingku, "Apa denganku?"

"Kamu sudah tahu hal pribadiku. Aku mau tanya bagaimana kamu bertemu lelaki brengsek itu?" aku menatap bintang-bintang di langit,

"Taeyong? Dulu, ayahnya adalah teman ayahku. Aku dekat dengannya karena orang tua kami sering mengadakan acara makan malam bersama. Dulu juga dia adalah lelaki yang baik, dia melakukan apapun untuk membuatku bahagia. Kami menjalin hubungan selama hampir 4 tahun, di tahun ketiga, ayahnya dipecat dan dideportasi atas tuduhan telah membocorkan informasi penting negara kepada pihak musuh." dia memainkan jemarinya,

Aku bangkit dan menatapnya, "Itu memang tidak bisa di toleransi. Kemana dia sekarang?"

"Tidak tahu. Ayahku juga sudah melakukan segalanya untuk membantunya, tapi hukum berkata lain. Dari situ, Taeyong berubah menjadi orang yang posesif dan kadang abusif kalau aku tidak mau mendengarnya. Aku tahu dia takut kehilanganku, tapi dia sudah kelewatan."

"Kenapa kamu tidak memutuskannya?"

"Aku pernah memutuskannya," dia menatapku, matanya agak berbinar, "Tapi dia selalu kembali, dan bodohnya aku selalu saja hanyut dalam rayuannya."

"Dasar lemah." aku membuang pandanganku dari Jennie,

Dia memukul lenganku kuat, "Jahat! Aku tidak akan melanjutkan ceritaku. Harusnya juga aku tidak memberitahumu!" mukanya kesal sekarang,

Aku mengusap lenganku yang sakit, sambil menatapnya, "Mianhae."

Dia melihat telapak tanganku yang masih dililit perban dan menariknya, "Ini lukamu waktu itu ya?" aku hanya mengangguk, "Maaf, aku tidak bermaksud untuk menambah sakitmu."

Wanita ini kenapa jadi moodswing? Tadi dia kesal, dalam sekejap dia jadi lembut.

"Ini tidak seberapa. Kamu belum melihat luka yang ada di sekujur tubuhku."

"Mana?" katanya penasaran,

"Aku harus membuka bajuku untuk memperlihatkannya."

Dia memukul lenganku lagi, dan mengelusnya dengan lembut seperti merasa bersalah, "Tidak perlu." pipinya memerah lagi,

Aku tertawa kecil, "Dasar. Lagian untuk apa juga aku melakukannya."

Suasana menjadi hening diantara kami, hanya ada hembusan angin dan suara lalu lintas. Aku mengelus perban di tanganku, luka baru untuk misi yang kuanggap enteng. Aku heran kenapa aku lebih sering terluka di misi yang sepele dibanding misi-misi besar. Mungkin aku kurang konsentrasi?

"Lisa-ya."

Aku menatap si pemilik suara, "Apa lagi?"

"Kamu satu kamar dengan mereka," aku tahu yang dia maksud adalah rekan-rekanku, "Apa kamu mandi dengan mereka juga?" dia menatapku dengan wajahnya yang jail,

"Tidak lah, bodoh. Aku mandi sendiri. Walaupun kami tidur bersama, mereka tidak akan berani melakukan apapun kepadaku, mereka akan mati sebelum benar-benar melakukannya."

"Tidurlah bersamaku kalau begitu." perkataannya membuatku spontan menoleh ke arahnya, "Tidur di rumahku."

"Bukankah aku memang akan mengikutimu kemanapun kamu pergi? Aku kan yang kamu sebut ajudan." aku mendengus,

Pipinya memerah lagi untuk yang ke sekian kalinya, untuk menyembunyikannya dariku, dia menunduk, "Oh, iya. Mian."

***

Aku membiarkan air membasahi rambut dan sekujur tubuhku seperti hujan, berharap dapat menghilangkan segala hal yang negatif dalam kepalaku. Kuusap wajahku dengan tangan kiri sebelum membuka perban tangan kananku dan membersihkannya. Aku menggigit bibirku untuk menahan perih ketika air menyerang permukaan lukaku, goresannya sangat panjang melintang dari atas hingga bawah.

Bulletproof Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang