BAB 4

78.2K 4.6K 36
                                    

Setelah membersihkan diri, Jihan pun membaringkan tubuhnya di kasur. Seharian ini, dia hanya berada di salon. Dan dia baru ingat, jika besok dia akan meet up bersama ketiga temannya.

Jihan segera mengambil handphone yang belum ia keluarkan dari tas. Begitu mengaktifkan handphone yang ternyata sebelumnya ia matikan, pesan dari grup Girls Squadnya sudah beratus-ratus saja. Grup dengan anggota yang masih sama, seperti sepuluh tahun yang lalu.

Mengingat masa-masa putih abunya, membuat Jihan tersenyum. Terutama persahabatan mereka. Suka dan duka pernah dia alami bersama teman-temannya. Bahkan, tentang kejadian yang tak pernah ingin ia ingat lagi pun terjadi pada masa putih abunya.

"Bego," gumamnya. Air matanya pun meluncur tanpa ia duga.

"Berengsek!" Kali ini, Jihan menenggelamkan wajahnya di bantal yang sejak tadi berada dalam pangkuannya.

Sejak pertemuannya dengan orang yang tak ingin ia sebut namanya, inisiden sebelas tahun yang lalu itu terus membayangi ingatannya. Baik itu hal yang membuat dirinya bahagia ataupun sebaliknya. Padahal, sebelas tahun itu ... bukan waktu yang sebentar. Apalagi kedatangan laki-laki itu yang secara tiba-tiba, cukup meresahkan hatinya.

Jihan mengusap wajahnya dengan kasar, ketika mendengar handphonenya yang berdering. Dilihatnya, Adeeva yang menelepon.

"Hallo."

"Han! Ya ampun lo ke mana aja sih?"

"Hah, kenapa? Besok jadi kan?"

"Iyalah. Cek grup sana."

"Iya. Gue baru pulang nih," dustanya, yang kemudian berbincang lebar dengan sahabatnya itu. Saling mengobati rasa rindu satu sama lain.

---

Siang ini, sesuai janji, Jihan pun pergi ke resto milik sahabatnya yang menjadi tempat pertemuan mereka kali ini. Setelah lulus pun, mereka memang masih suka berkomunikasi, meskipun hanya lewat grup chat. Tetapi untuk acara pertemuan seperti ini sangat jarang, mengingat mereka sudah mempunyai kesibukan masing-masing. Jihan, Mira dan Rasi sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan Adeeva sibuk dengan anak laki-lakinya. Karena perempuan itu memang tidak diperbolehkan bekerja oleh suaminya. Di antara mereka berempat, Adeeva memang yang lebih dulu menjalani peran sebagai istri sekaligus Ibu.

"Han! Sini." Seseorang melambaikan tangannya membuat Jihan yang baru masuk pun tersenyum. Disana, di meja paling pojok, sudah ada Deeva dan Mira juga si kecil yang tak lain tak bukan adalah putra semata wayang sahabatnya, Adeeva.

"Ya ampuh Haaaaan! Apa kabar?" Mira masih heboh seperti dulu. Kemudian dua perempuan itu pun saling cipika-cipiki.

"Si Rasi nggak dateng?" tanya Jihan seraya mendudukan bokongnya di kursi. "Jiah, Raza makin hari makin ganteng aja." Jihan mencubiti pipi tembam anak laki-laki yang berusia dua tahun itu dengan gemas, membuat si empunya berpotes tak suka. "Atit, Ma," ucapnya sambil menatap sang Ibu.

Sontak, Jihan tertawa. "Aduh, udah bisa laporan ya sekarang. Hallo Raza, ini Tante Jihan. Salim dulu sini," ucapnya. Kemudian Jihan pun mengulurkan tangannya. Dan dengan pintarnya, anak laki-laki itu menyalaminya membuat Jihan tertawa gemas.

"Oh iya, Rasi bilang dia bakalan telat," ucap Mira menginterupsi.

"Sumpah deh Deev, itu wajah fotocopyan laki lo banget."

Deeva tertawa. "Iya, gue nggak kebagian apa-apa."

"Kapan projek kedua nih?" tanya Mira seraya cekikikan.

"Ntar, kalau kalian dah pada gendong," jawab Deeva yang dibalas dengkusan oleh Jihan. Sedangkan Mira, perempuan itu malah cekikikan sendiri.

"Guys! Gue kangen bangeeet!!!" pekikan seseorang membuat ketiganya yang sedang berbincang pun mengalihkan perhatiannya. Beruntung, resto masih belum ramai mengingat belum masuk jam makan siang, sehingga tak banyak orang yang memperhatikan.

"Rasi!" Mira memekik senang. Dua heboh itu akhirnya bersatu, dan menciptakan kehebohan yang lainnya.

"Maaf gue telat, tiba-tiba ada klien tadi," ucapnya setelah sebelumnya saling bertanya kabar.

"Ibu Desainer sibuk mulu ya," ucap Deeva membuat Rasi cekikikan. "Kerja keras bagai kuda. Duh Deev, ini anak laki lo banget."

"Bosen ya, gue denger kalimat itu terus."

"Yang penting nggak mirip tetangga dah," celetuk Jihan membuat Deeva mendengkus. "Enak aja!"

---

"Haha, iya sih gue nggak nyangka banget ini anak terjun ke dunia fashion," ucap Rasi yang hanya dibalas decakan oleh Jihan.

Setelah makan siang bersama, mereka pun kembali berbincang. Sesekali bernostalgia ke masa putih abu beberapa tahun silam.

Sebenarnya, Jihan sendiri pun tak pernah membayangkan jika dia akan menggeluti dunia fashion seperti sekarang. Jujur saja, sebelumnya dia tak pernah tertarik dengan dunia fashion yang menurunya sangat ribet. Tetapi, setelah menjalani hal ini beberapa tahun lalu, akhirnya dia menikmatinya. Bahkan, dia sangat menikmati pekerjaannya. Cita-citanya yang ingin menjadi seorang reporter kala itu pun hancur sudah kala mendapat perintah dari Ibunya yang mengharuskan dia untuk kuliah kecantikan bersama Kakak tirinya, di Los Angles. Tetapi pada akhirnya, dia bersyukur. Mungkin memang benar, orangtuanya menginginkan yang terbaik baginya.

Namun Jihan rasa, sudah cukup saatnya untuk dia mengatur jalan hidupnya sendiri. Dia sudah lelah jika hidup masih berada di bawah tangan orang tuanya. Apalagi, Ayahnya itu dengan seenaknya berniat untuk menjodohkannya.

"Jangankan elo, gue juga Ras," jawab Jihan.

"Yaudahlah, nikmati aja," ucap Deeva yang diangguki ketiganya.

"Iyalah, harus," jawab Mira.

"Deev." Suara seseorang memanggil nama Deeva, membuat empat perempuan yang masih asyik berbincang itu pun terdiam. Dilihatnya, laki-laki bertubuh tinggi yang tampak familiar, yang tak lain tak bukan adalah Bima.

Bima menampilkan senyumnya, ketika keempatnya memandangnya, tak terkecuali Jihan. Perempuan itu pun sempat menoleh, sebelum kembali mengalihkan perhatiannya.

"Arganya ada kan?" tanya Bima yang langsung diangguki oleh Deeva. "Di atas Kak. Lo masuk aja ya."

Bima mengangguk. "Oke."

Setelah kepergian Bima, Mira pun berucap, "Sumpah, Kak Bima pangling banget."

Rasi pun mengangguk setuju. Sedangkan Jihan, perempuan itu malah asyik dengan ponselnya. Sebenarnya, dia hanya sedang mengalihkan fokusnya saja.

"Gimana kabar lo Han?" tanya Rasi membuat Jihan menatapnya dengan heran.

"Hubungan lo sama Kak Bima," ucapnya menjelaskan.

Jihan mengedikan bahunya acuh. "Kenapa gue?"

---

Jihan yang baru saja memasuki mobilnya pun menghela napasnya berat, menyandarkan tubunya di jok, sebelum benar-benar mengendarai mobilnya. Saat ini, jam sudah menunjukan pukul tiga, dan dia baru pulang. Empat jam memang tak terasa jika para wanita yang berkumpul. Tetapi Jihan tak sepenuhnya menikmati hal tersebut, ketika temannya Rasi menyinggung tentang Bima, si mimpi buruknya.

Ketukan di kaca membuat Jihan yang tengah menutup matanya pun mengalihkan perhatiannya. Dia mendelik sebal begitu tahu siapa yang mengetuk kaca mobilnya. Dia adalah Bima, mantan kekasihnya.

"Han!" Bima masih gencar mengetuk kaca mobilnya. Tetapi sayang, hal itu tidak dapat menggerakan hatinya sedikit pun.

Kali ini Jihan percaya, jika memaafkan bukan berarti melupakan. Karena dia mengalami hal tersebut.

Tanpa memedulikan seruan Bima, Jihan pun menjalankan mobilnya. Cukup sudah! Dia tak pernah ingin mengulang hal yang sama. Karena dia tahu, sebuah cermin yang retak tak akan pernah kembali menjadi sedia kala.

---

To Be Continue....

---

Jumat, 26 Oktober 2018
Salam sayang,

Agustus29

Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang