°7°

31.5K 1.3K 12
                                    

Usai sarapan, seluruh anggota keluarga Nareswara berkumpul seperti rutinitas biasanya saat hari libur di ruang keluarga. Di atas meja tentu saja sudah tersedia minuman dan stoples cemilan yang menjadi pelengkap.

"Jadi, jam berapa rencananya kalian akan pindah?" tanya Arsalan.

"Sekitar pukul sembilan, Opa," jawab Arta.

Aiza hanya dapat menghela napas pasrah. Semalam, mereka kembali berdebat, di mana Arta-lah yang memenangkan ajang debat mulut itu, dan dengan setengah hati Aiza akhirnya setuju. Apalagi konfliknya kalau bukan tentang rencana pindahan mereka.

"Kami akan ikut mengantar kalian," beritahu Hilya yang terlihat sangat antusias.

"Kamu kenapa, Dek?" tanya Ana yang menyadari jika adiknya sedari tadi hanya menundukkan kepala, tidak banyak bicara seperti biasa. Atau Aiza masih sedih atas kepergian oma mereka?

Aiza mendongakkan kepala, dan sekuat tenaga berusaha melengkungkan bibir agar tidak ada yang tahu kegelisahannya saat ini. Ia kemudian menggeleng kecil, "nggak pa-pa kog, Kak," jawabnya berusaha sesantai mungkin. "Cuman ... nanti pasti Aiza bakalan kangen banget sama kalian," lanjutnya dengan suara pelan.

Hilya memeluk putri semata wayangnya dengan sayang. "Kan Aiza bisa ke sini kapan aja," ucap Hilya menenangkan, walau dirinya sendiri masih enggan melepas putri kecil yang kini sudah tumbuh besar bahkan sudah menjadi seorang istri. Rasanya waktu berjalan dengan sangat cepat. Seperti baru kemarin Hilya merasakan sakit saat melahirkan Aiza, namun sekarang ... ia harus rela putrinya diboyong oleh sang suami.

°°°

"Udah semua?" tanya Arta seraya mulai menarik dua koper ke luar.

Aiza mengangguk lesu. Ia ikut menarik koper yang kemudian langsung diambil alih oleh pembantu rumah tangga. Kepalanya sekali lagi menoleh ke dalam kamar. Ia pasti akan merindukan istnanya ini. Tempat ternyaman setelah dekapan sang ibu. "Kalaupun ada yang kurang bisa diambil nanti," sahut Aiza sambil berjalan mendahului Arta.

Bukan tanpa alasan Arta menginginkan mereka untuk cepat pindah. Yang pertama, tentunya Arta cukup lelah jika harus pulang pergi ke rumah sakit dari rumah mertuanya ini. Karena jarak yang ditempuh lumayan cukup jauh. Jika ke kampus mungkin tidak ada masalah, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Yang selanjutnya, tentu ada sedikit rasa tidak nyaman jika harus satu atap bersama mertua. Apalagi mereka masih belum terlalu kenal satu sama lain. Dan beberapa alasan lain yang tidak bisa dijelaskan. Oleh karena itu, Arta kekeuh ingin segera pindah. Toh, setelah menikah memang lebih bagus untuk tinggal terpisah dari orangtua, kan?

°

Setelah menempuh waktu tiga puluh menit, mobil Arta diikuti mobil mertuanya memasuki halaman sebuah rumah berlantai dua. Sepanjang perjalanan, Aiza memilih bungkam. Arta cukup paham dengan apa yang dirasakan istrinya, tapi di sini dia memiliki hak atas Aiza, termasuk membawanya untuk tinggal pisah dari orangtua. Bukannya kejam, tapi ini semua juga demi kebaikan mereka.

Dibantu seorang satpam, Arta membawa barang-barang Aiza masuk ke dalam rumah. Sementara Aiza dan orangtuanya Arta minta untuk menunggu di dalam saja.

"Biar Ummah bantu beresin barang-barang kamu, ayo!"

Aiza mengangguk dan mengikuti sang ibu yang sudah lebih dulu berjalan ke kamar ... mereka. Kamar Aiza yang baru.

"Kamu selama ini tinggal sendiri?" tanya ayah Aiza setelah menyesap teh yang tadi Arta buatkan.

"Iya, Bah." Arta ikut menyesap teh.

Takdir Cinta dari Allah (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang