Sepeninggal Arta, tubuh Aiza jatuh merosot ke lantai. Air matanya kembali mengalir, dengan alasa yang berbeda. Sudikah Allah memaafkan kekhilafannya ini? 'Rabbi … apa yang barusan telah hamba lakukan?' lirihnya menyesal. Manusia selalu begitu, menyesali sesuatu pada bagian akhir, padahal itu sama sekali tidak berarti apa-apa lagi.
Lama ia termenung, sampai tidak sadar jika waktu sudah menujuk lewat tengah malam. Mata Aiza berat, tapi tidak bisa tertutup, apalagi tidur. Sudah selarut ini, tapi suaminya belum juga kembali.
Meraih ponsel, Aiza mencoba menghubungi nomor Arta. Tapi sayang, hanya sahutan dari operator yang ia dapatkan.
Berpikir sambil mondar-mandir, Aiza merampas sweeter, kunci motor, dompet, dan memakai jilbab instant. Ia harus bertemu Arta, menyampaikan maaf sebelum terlambat.
Suasana rumah sudah gelap gulita. Wajar saja, saat ini penghuni rumah pasti tengah lelap dalam tidur mereka. Mengendap-endap, akhirnya Aiza sampai di garasi. Meminta bantuan salah satu pekerja di rumah yang bertugas sebagai keamanan untuk mengeluarkan motor yang sudah lama tidak pernah dipakainya, Aiza membujuk satpam agar bersedia membukakan gerbang. Meyakinkan pria bernama Yadi itu, kalau dia hanya keluar sebentar untuk membeli pembalut. Terpaksa bohong, karena jika tidak begitu, dia tidak akan bisa keluar. Penjagaan di rumah orangtua Aiza ini memang seketat itu.
Setelah berhasil, Aiza langsung melajukan motornya membelah jalanan kota yang sudah cukup sepi dengan angin malam yang menusuk, sekalipun ia sudah mengenakan sweeter.
Di tengah jalan, motornya tiba-tiba mogok. Kehabisan bensin ternyata. Beruntung, ada sebuah kios tidak jauh dari tempat motornya mogok. Dengan menyeret, Aiza akhirnya sampai.
Setelah membayar, niat Aiza ingin melanjutkan perjalanan. Namun, netranya tidak sengaja melihat sebuah masjid di seberang jalan. Teringat, kalau dia belum shalat isya. "Astaghfirullahal'adzim," lirihnya. Ia telah lalai.
Memutuskan singgah, Aiza mendirikan shalat isya. Hatinya yang tadi sangat gusar menjadi damai seketika. Sampai pada sujud terakhir, tangisnya pecah. Bayangan akan dosa membuat dadanya sesak.
Usai salam, Aiza menengadahkan tangannya. Mencurahkan isi hati juga pikirannya melalui untaian do'a. Berharap Allah masih bersedia mendengarkan keluh kesahnya setelah apa yang ia lakukan.
Puas berbincang dengan Penciptanya, Aiza bangkit. Berjalan dengan tubuh yang sedikit lemas, baru ingat juga kalau dia belum makan sejak siang tadi. Aiza menuju sebuah lemari tempat menyimpan mushaf qur'an.
Kembali ke tempat semula, Aiza duduk dan membuka lembar demi lembar kitab suci umat islam itu. Hingga matanya terhenti di sebuah surah. Ar-rahman. Surah kesukaan sekaligus mahar yang Arta berikan saat akad pernikahan mereka waktu itu. Hatinya berdenyut, seketika merindukan sang suami.
Mencoba menenangkan diri, Aiza mulai mengaji. Air matanya belum kering, mengalir membasahi pipinya, lagi. Nikmat Tuhan yang mana lagi yang ia dustakan? Aiza merasa menjadi insan yang kufur nikmat.
Di tempat lain, masih di bumi Allah, Arta tertidur dengan kepala yang diletakkan di atas meja beralaskan tangan. Baru terbangun ketika adzan subuh berkumandang. Tubuhnya terasa sakit, kepalanya apalagi.
Kakinya melangkah menuruni anak tangga, keluar dari restoran, ia menuju sebuah masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sangat bersyukur, karena Allah masih membangunkannya untuk beribadah dan memberbaiki kesalahannya.
Ternyata ada ceramah singkat usai shalat. Arta memilih mengikuti, mendengarkan dan meresapi apa yang disampaikan oleh sang ustadz.
Arta menunduk dalam. Isi ceramah yang disampaikan benar-benar membuat Arta merasa ditampar bolak-balik. Bertemakan rumah tangga. Di dalamnya menjelaskan tentang kewajiban, kedudukan, pun tugas dari suami maupun istri.
Pikirannya langsung mengingat Aiza. Kejadian semalam benar-benar di luar kendalinya. Arta terlampau emosi, dan terikut dengan arus emosi tersebut. Tanpa sadar, Arta juga turut mengingat seseorang. Seseorang yang entah bagaimana kabarnya saat ini. Begitu banyak dosa yang sudah Arta lakukan. Setelah masalahnya ini selesai, mungkin ia akan perlahan menjelaskan pada Aiza, tentang rahasia yang sudah ia sembunyikan.
Sepulang dari masjid, Arta kembali ke rumah. Kosong. Wajar saja. Mang Darto yang biasa berjaga di pos satpam sedang mengambil cuti, istrinya melahirkan. Begitupun dengan Mak Tam yang izin sakit, hingga tidak bisa masuk kerja.
Arta membuka pintu. Setelah masuk, langkahnya terhenti sesaat. Pintu rumahnya tidak terkunci. Melihat sekeliling, tidak ada yang ganjil. Mungkin saat dia dan Aiza kemarin akan pergi lupa mengunci pintu.
Mengedikkan bahu, Arta menaiki anak tangga. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar sebuah suara dari arah dapur. Berbalik, Arta berlari ke arah dapur.
Begitu sampai, Arta sukses dibuat terkejut oleh seseorang yang sedang memasak di dapurnya.
"Ira?"
Merasa dipanggil, wanita bernama Ira itu berbalik. Terbelalak sesaat sebelum mengukir senyum lebar. Mencuci tangan di wastafel lalu mengelapnya, ia berjalan mendekati Arta. Menubruk tubuh pria yang meski tidak dikenalnya lama, tapi sudah begitu membuatnya tersiksa oleh rindu.
"Ira kangen," ungkap wanita itu.
Tubuh Arta menegang. Enggan membalas, tapi teringat pada pesan ustadz pada kajian subuh tadi. Akhirnya, tangan Arta perlahan membalas pelukan itu dengan perasaan campur aduk.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap tajam ke arah keduanya. "Abang ...."
Arta spontan melepas pelukannya. Bola matanya nyaris keluar saat melihat siapa yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.
°°°°°
Hollaaaa😄
Wuihhhh, udah mulai masuk ke inti cerita nehhh guys😋
Coba tebak, siapakah Ira sebenarnya? Tulis di kolom komentar, yaaaa.😉
Voment jangan pernah lupa, eh kewajiban sebagai umat manusia juga jangan dilalaikan, yaaa😊
See you good bye😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta dari Allah (TERBIT)
Ficção Geral(Story#1) !!!Beberapa Part Dihapus Secara Acak!!! 15+ 🍃Ketika sebuah takdir mempertemukan mereka. Akankah rasa yang sebelumnya tak pernah mampir hadir di antara mereka? Mereka hanya meyakini satu hal. Allah Maha Pembolak Balik Hati setiap manusia. ...