Langit agaknya sedang marah. Di langit yang hitam pekat, kilatan petir terlihat sangat jelas. Menyambar dengan begitu cepat. Gemuruh guntur yang saling bersahutan, berikan getaran meski tidak terlalu kuat. Hujan deras mengguyur daratan. Menumpahkan sesak yang tak lagi tertahan.
Langit seperti memahami perasaan seseorang yang tengah terisak di ruang makan. Kepalanya bertumpu pada meja, dengan tangan yang dilipat sebagai alas. Tangisannya teredam oleh suara hujan di luar. Sesekali, ia memukul dadanya yang entah sampai kapan bisa memberikan rongga bebas, tidak lagi menyesak, memudahkannya menghirup oksigen.
Entah pukul berapa sekarang, dia tidak tahu. Yang jelas, tadi dia sempat berbaring sejenak di kamar tamu sebelum memutuskan keluar, enggan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Matanya berat, bukan karena ngantuk, tapi karena terlalu lama menangis. Segelas air dingin sudah tandas, ia habiskan. Berharap bisa sedikit melegakan perasaannya. Namun, nyatanya nihil. Tidak ada yang berubah, selain rasa sesak yang kian mencekam.
Lampu rumah sudah dimatikan semua, tersisa lampu di luar. Penghuni rumah pun pasti sudah berlayar dalam tidurnya.
Tanpa ia sadari, seseorang tengah berdiri tidak jauh darinya. Hampir sepuluh menit orang tersebut hanya berdiri kaku, memperhatikan.
Orang itu, Arta. Dia mengepalkan tangan. Untuk ke sekian kalinya, ia lagi-lagi menjadi alasan air mata itu tumpah.
Menghembuskan napas panjang secara perlahan, kakinya melangkah mendekati sang istri. Aiza sama sekali belum menyadari, sampai akhirnya wanita itu tersentak, saat Arta yang tengah berjongkok menumpukan kepalanya di atas paha Aiza. Pria itu turut meneteskan air mata.
"Ampun … ampuni Abang, sayang ...." Arta meraih tangan Aiza, mencium punggung tangan ratu hatinya berkali-kali.
Tubuh Aiza menegang. Terkejut dengan kedatangan Arta yang tiba-tiba. Apalagi saat samar-samar, telinganya mendengar isakan yang keluar dari bibir Arta.
Air mata Aiza semakin deras mengalir. Tubuhnya membatu beberapa saat, sebelum menyentak keras tangan Arta yang terasa lemah di pria itu. Genggaman Arta semakin erat. Kata 'maaf' tak henti ia suarakan. Calon ayah satu itu benar-benar menyesali perbuatannya. "Kamu boleh pukul aku, kamu boleh tampar aku, silakan. Tapi, aku mohon … maafkan aku. Beri aku kesempatan sekali lagi," ujar Arta memohon.
Sedangkan Aiza malah memalingkan wajah dengan derai air mata. Ia sudah mulai berdiri, terus mencoba melepaskan genggaman tangan Arta. Tepat saat kakinya mulai melangkah, tubuhnya limbung. Beruntung Arta dengan sigap menangkap. "Kamu nggak pa-pa?" tanya pria itu cemas.
'Pertanyaan bodoh!' umpat Aiza dalam hati. Setelahnya, tangan wanita itu refleks mencengkram kaus yang Arta kenakan, saat tubuhnya melayang. Arta membopongnya. Ingin menolak, tapi kondisi tubuhnya benar-benar lemah, membuat Aiza pasrah dibawa ke dalam kamar.
Dengan pelan penuh kehati-hatian, Arta membaringkan tubuh sang istri ke atas ranjang. Lampu kamar yang menyala terang membuat Arta akhirnya bisa melihat wajah Aiza yang benar-benar kacau. Seketika hatinya nyeri mendapati pemandangan tersebut. Arta benar-benar telah melakukan kesalahan besar. Benaknya meragu, jika sang istri sudi memberi maaf, lagi.
Berbalik, Aiza tidur memunggungi Arta. Hembusan napas berat keluar dari bibir suaminya. Biar saja. Untuk malam ini, biarkan Aiza meredakan sesak di dada. Semoga, hari esok mendukungnya untuk meraih bahagia.
°°°
Huek … Huek ….
Pagi-pagi sekali, suara Aiza yang tengah muntah menjadi penyambut pagi Arta. Usai mendirikan shalat subuh yang didirikan di rumah, Arta kembali tertidur. Pikiran yang sedang kacau, membuat tubuhnya ikut letih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta dari Allah (TERBIT)
General Fiction(Story#1) !!!Beberapa Part Dihapus Secara Acak!!! 15+ 🍃Ketika sebuah takdir mempertemukan mereka. Akankah rasa yang sebelumnya tak pernah mampir hadir di antara mereka? Mereka hanya meyakini satu hal. Allah Maha Pembolak Balik Hati setiap manusia. ...