°35°

22.2K 828 23
                                    

"Pagi, sayang." Sapaan lembut penuh kasih sayang itu Aiza dapatkan ketika pertama kali membuka kelopak matanya.

"Pagi," sahutnya pada sang suami yang setengah berbaring dengan sebelah tangan menopang kepala, menghadap ke arahnya.

Tangan Arta gatal untuk mencubit pipi Aiza. Wanita itu menguap, kemudian merenggangkan tubuhnya sedikit sebelum mengucek mata. Persis seperti anak kecil yang baru bangun tidur. Bagaimana bisa Arta tidak tidak tergugah? Wanitanya ini sangat lucu.

Tatapan tajam Aiza layangkan pada Arta. "Kebiasaan, deh! Istri baru bangun udah dikasarin aja," gerutunya sambil mengusap pipi kanannya yang menjadi korban tangan Arta.

"Siapa suruh kamunya lucu?" Bukannya meminta maaf, Arta malah semakin ngajak gelut.

Ketika akan menyahut, pintu kamar tamu diketuk, Ira masuk setelahnya. Memang, untuk sementara, Aiza tidur di kamar tamu lantai bawah. Mengingat wanita itu yang tidak mungkin turun naik tangga.

Di tangan, Ira membawa nampan yang di atasnya terdapat semangkuk bubur dan segelas susu.

Arta mengambil nampan tersebut sembari mengucap terima kasih.

"Maaf ya, Ra. Jadi ngerepotin kamu, deh." Aiza menatap madunya tidak enak hati.

Ira menggeleng, wanita berbadan dua itu menyunggingkan senyum. "Nggak repot, kog, Mbak," katanya.

"Lebih baik kamu banyak-banyak istirahat, jangan sampai nanti kayak gue ...." Rasa sesak itu kembali. Lukanya masih belum pulih.

Merasa suasana mulai berubah, Ira pamit undur diri. Tepat saat pintu kembali tertutup, cairan bening itu kembali lolos, sekalipun sudah Aiza coba tahan. Nyatanya, dia tidak sekuat itu. Wanita mana yang tidak sedih ketika harus kehilangan bayinya? Calon anaknya?

Pelukan hangat yang menenangkan Aiza dapat dari sang suami. Usapan di punggungnya perlahan meredakan isak tangis Aiza, juga perasaannya.

Perihal perasaan Arta, tentu saja tidak jauh berbeda dari Aiza. Hanya saja, jika dia pun turut larut dalam kesedihan akan kehilangan calon anak mereka, siapa yang akan menjadi sandaran bagi Aiza? Siapa yang akan menjadi penguat wanita itu?

Cukup pada Sang Pencipta-lah Arta mencurahkan keluh kesahnya, mengeluarkan uneg-unegnya, memberitahukan tentang perasaannya yang sangat kacau saat ini. Cukup di depan Allah saja, Arta menunduk, menangis, menjelma menjadi seorang manusia yang tiada berdaya. Agar ketika di depan Aiza, dia bisa menjadi sosok pelindung, penenang, dan menjadi tumpuan ratu hatinya. Mereka harus bisa saling menguatkan, agar tidak terjatuh dalam keputusasaan.

"Ssttt ... udah, jangan nangis. Kan, jadi mubadzir air matanya." Sengaja Arta selipkan candaan di kalimatnya, guna menghalau rasa sedih di hati sang istri.

Mendengar itu, Aiza berdecak. Pinggang Arta ia cubit. "Ngawur!" tukasnya sembari mengurai pelukan.

"Lagian, kamu kalau nangis tuh, jelek banget, beneran, deh." Semakin jadi Arta menggoda sang istri.

"Idih, ngerasa bganteng, hm?" Aiza balas dengan menyindir.

"Oh, jelas! Kamu jadi saksi sendiri, kan, gimana aku menjadi dosen idola di kampus?" Menarik sebelah sudut bibir, Arta menaik turunkan alisnya. "Kamu sendiri juga terpesona sama ketampananku, makanya sampai jatuh cinta," tambahnya membuat bola mata Aiza melebar, sebelum meraih bantal kecil di sampingnya dan menimpuk lengan Arta.

"Bisa-bisamya sepercaya diri itu?" Kepala Aiza lantas menggeleng takjub. Dokter yang sempat menjadi dosen di depannya ini, yang terkenal dengan sifat dingin bin cueknya baru saja mengatakan sesuatu yang bukan pribadinya sekali.

Arta menanggapinya dengan kekehan kecil. "Udah, waktunya sarapan." Setelah itu, Arta fokus menyuapi Aiza yang sebenarnya bisa makan sendiri. Tapi yaa begitu, Aiza lagi manja dan maunya disuapi Arta.

"Susunya buat Abang aja," kata Aiza dan meminta Arta mengambilkan gelas berisi air putih di atas nakas.

Mendengus, Arta berdehem malas menyahuti perkataan Aiza. Lupa juga memberitahu Ira, kalau Aiza 'tidak doyan' susu.

Setelah membantu Aiza berganti posisi, tapi masih bersandar, Arta beranjak. Bersiap-siap pergi kerja.

°

"Dek ...." Aiza menoleh ke arah Arta yang sekarang sudah rapi dengan kemeja warna biru muda. Pria itu duduk di tepian ranjang seraya menyodorkan dasi.

Tersenyum kecil, Aiza mulai melakukan tugas kecil yang sudah seperti kebiasaan. Memasangkan Arta dasi.

"Sayang ...." Arta meraih jemari Aiza ketika wanita itu telah selesai memasangkannya dasi.

Aiza menoleh, mengangkat sebelah alisnya.

"Abang mau minta izin," ucap Arta.

Kening Aiza mulai menampakkan lipatan kecil. "Izin ke mana? Cuman ke rumah sakit aja izinnya udah kayak mau--" Kalimat Aiza terjeda, wanita itu menatap sang suami intens. "Jangan bilang Abang minta izin buat nikah lagi?! Kalau iya, jangan harap Aiza--"

"Apasih? Makanya dengerin dulu aku ngomong!" Deretan gigi putihnya Aiza tampilkan mendengar decakan Arta.

"Abang di rumah sakit cuman buat gantiin Dokter Firman yang ambil cuti, istrinya mau melahirkan."

Kepala Aiza mengangguk-angguk. Semalam Arta sudah mengatakannya.

"Setelah itu, Abang bakal langsung ke Surabaya--"

"What?!" pekik Aiza. "Aw!" ringisnya kemudian saat akan bangkit dari bersandar, tangannya memegangi perut bagian bawahnya.

"Ck! Jangan banyak gerak! Kamu tuh masih dalam proses pemulihan!" omel Arta seraya turut mengusap perut Aiza. "Masih sakit?" tanyanya kemudian.

Aiza menggeleng pelan. "Ngapain ke Surabaya?" tanyanya, menatap sang suami lekat-lekat.

"Ada beberapa masalah sama cabang rumah sakit di sana, dan aku yang harus turun tangan buat menyelesaikannya." Arta berusaha menjelaskan alasan kenapa hari ini ia harus terbang ke luar kota. Dalam hati tentu berharap, semoga Aiza memberikan izin.

°°°°°

Haihaihaiii😄

Part ini B aja, nggak sih?😅
Udah gitu pendek lagi, hehe. Sorry ya guysss😳

See you next part😘

Takdir Cinta dari Allah (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang