°8°

29.4K 1.2K 22
                                    

Saat ini Aiza tengah bersantai di pendopo belakang rumah. Ditemani secangkir teh hangat juga cemilan ringan yang tadi sempat dibuat, Aiza menikmati semilir angin pagi menerpa wajahnya.

Udara pagi memang yang terbaik. Sesekali ia bersenandung kecil sambil mengayun-ayunkan kaki ke depan. Hari ini hari libur, jadi Aiza memilih untuk bersantai di rumah saja daripada jalan-jalan tidak jelas yang membuat tubuh lelahnya menjadi tambah lelah.

Dua minggu sudah kepergian omanya. Bayangan oma yang memanjakannya, membacakannya cerita para nabi, sahabat-sahabat nabi serta para wanita-wanita luar biasa seperti Asiyah, Khadijah, Fatimah, dan lainnya sebelum tidur, oma yang mengajaknya membuat kue, oma yang ... rasanya Aiza tidak mampu untuk kembali membayangkan kenangan indah itu. Mengingatnya, membuat Aiza merindu pada sosok wanita yang semasa hidupnya itu penuh kelembutan dan kasih sayang.

Kini, semua tinggal kenangan. Kepergian sang oma begitu membekas di relung hatinya. Sulit itu pasti, apalagi ia sangat dekat dengan sang oma. Tidak pernah lupa dalam setiap shalatnya, Aiza mendoakan sang oma agar diberikan tempat terindah di sisi Tuhan Yang Maha Esa, juga diterima semua amal ibadahnya, dan diampuni dosa-dosanya, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Tersenyum sendu, Aiza memejamkan mata, menghela napas berkali-kali. Ia harus ikhlas. Ya, harus!

Teringat sang oma membuat Aiza kembali teringat perihal pernikahannya. Dua minggu sudah usia pernikahannya. Rasanya masih seperti mimpi. Masih seperti begitu tiba-tiba. Tiba-tiba saja, statusnya berubah jadi seorang istri. Tiba-tiba saja, ia sudah pisah rumah dengan orangtuanya. Tiba-tiba saja, ia sudah menjabat sebagai 'nyonya Artanabil'. Dan segala ketiba-tibaan yang lainnya.

Aiza tidak tahu apa jadinya rumah tangga yang ia jalani sekarang ini pada masa mendatang. Apa bisa seperti ayah dan ibunya, atau opa dan omanya yang begitu terjaga keharmonisannya sampai sekarang. Atau malah berakhir tidak, "astaghfirullahal'adzim ...." Aiza segera mengusap wajahnya. Berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang bermunculan. Ia tidak boleh berpikiran seperti itu. Tidak boleh.

Meskipun tanpa cinta, saat detik di mana statusnya berubah, Aiza sudah berdoa semoga kali ini benar Arta-lah jodoh yang dikirim Allah untuknya. Yang akan selalu dan selalu menjadi imam untuknya juga anak-anaknya kelak.

Ah mengatakan kata 'anak' membuatnya malu sendiri. Bahkan ia masih belum siap melepas penutup kepalanya di depan Arta. Meski Aiza tidak se-shalihah Wafa, tapi ia tetap menjaga dengan baik mahkotanya. Hanya akan diperlihatkannya kepada seseorang yang memang berhak dan ... ia percayai orang itu bisa menjaga kepercayaannya.

"Ya Rabb," gumamnya lirih.

Dia juga berdoa, meminta pertolongan dan petunjuk agar bisa menjadi seorang istri yang shalihah dan ibu yang amanah.

Ngomong-ngomong soal Arta, pria itu sedang pergi ke luar kota lusa kemarin untuk urusan pekerjaan dan tidak tahu kapan pulangnya.

Arta sempat menawarkan untuk menginap di rumah bunda atau ummah saja, tapi Aiza menolak. Bukan tidak mau, ia hanya takut nanti malah tidak mau pulang, jika sudah berada di rumah lamanya. Kalau di rumah mertua, Aiza masih sangat canggung. Belum terlalu akrab dengan keluarga pihak Arta.

"Ck! Menyebalkan!" decaknya kesal. Entah kenapa mood-nya menjadi sangat buruk. Ini semua karena otaknya dengan lancang memutar ingatan buruk beberapa waktu lalu.

"Apanya yang menyebalkan?" tanya seseorang.

"Semuanya!" jawabnya tanpa tahu siapa orang yang bertanya.

"Jangan jadi seperti orang yang tidak tau bersyukur," sahut orang itu lagi.

"Nggak bersyukur gimana lagi, sih! Tapi keadaannya, saat ini gue benera--" Tiba-tiba saja ucapan Aiza terhenti. Ia kemudian menoleh ke arah suara tadi. Suara yang sudah lumayan tidak asing baginya. "lho, Bang Ar?"

Takdir Cinta dari Allah (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang