Prolog

5.5K 426 11
                                    

Seperti biasa, anak itu selalu menjadi yang paling terakhir dijemput.

Aku menghela napas, merasa kasihan padanya. Di bawah langit yang sudah kemerahan, dia bermain pasir sendirian di halaman. Semua anak-anak di hoikuen ini sudah dijemput pulang oleh anggota keluarganya, kecuali anak perempuan yang satu ini.

"Sarada, kamu belum pulang?" tanyaku lembut. Aku pun berjongkok di sebelah Sarada—nama anak itu—dan memperhatikannya yang sedang sibuk memasukan pasir ke dalam sebuah cetakan berbentuk kelinci.

"Belum, Ino-sensei. Aku belum dijemput Mama," jawabnya, tanpa mengalihkan perhatian dari cetakan pasir di tangannya.

Haruno Sarada adalah salah satu anak yang baru masuk Futaba Hoikuen mulai bulan April tahun ini. Usianya masih 3 tahun, tapi menurutku Sarada adalah anak yang berbakat. Cara berbicara dan kosakatanya melebihi anak usia 3 tahun biasanya. Dia juga anak yang baik dan penurut, meskipun agak sedikit kalem kalau di kelas, tapi mungkin itu karena dia masih canggung untuk berteman dengan anak-anak lainnya.

"Sebentar lagi gelap, jadi sebaiknya Sarada main di dalam kelas aja ya? Bagaimana kalau kita melipat origami? Nanti Sensei ajarkan cara membuat burung bangau, kamu mau?"

Ia menoleh padaku, lalu tersenyum lebar. "Aku mau, Sensei!"

Anak ini benar-benar manis, membuatku gemas. Rasanya aku ingin selalu mencubit pipi gembulnya, tapi nanti dia bisa nangis dan bisa-bisa aku kena marah kepala hoikuen, Kurenai-Sensei, haha. Tapi Sarada memang benar-benar anak perempuan yang manis. Dengan rambut hitam sebahu, kedua iris hitam legam, dan kulit pipinya yang kemerahan, mungkin kalau sudah remaja dia akan menjelma menjadi gadis yang cantik dan diidolakan anak-anak cowok—seperti aku dulu haha.

Setelah kami mencuci tangan, aku menggandeng Sarada menuju ruang kelas. Aku pun menyiapkan kertas-kertas lipat untuk membuat origami di atas meja. Aku memperlihatkan pada Sarada bagaimana caranya membuat bentuk burung bangau dari kertas lipat. Anak itu lalu mencoba melipat kertasnya mengikuti arahanku dengan serius—hingga kedua alisnya berkerut—benar-benar menggemaskan.

Bisa dibilang, Sarada adalah anak favoritku di sini—padahal baru dua minggu Sarada masuk hoikuen. Aku seharusnya tidak pilih-pilih tapi mau bagaimana lagi, anak ini menarik perhatianku sejak awal.

Selain wajah dan tingkah lakunya yang manis, Sarada juga selalu menjadi anak yang dijemput paling terakhir. Nursery school atau hoikuen pada dasarnya memang tempat untuk menitipkan anak-anak hingga usia 5 tahun yang kedua orangtuanya bekerja atau punya kesibukan lain, sehingga anak-anak disini baru dijemput keluarganya setelah jam 5 sore atau setelah jam kerja berakhir. Tapi, Sarada baru dijemput ibunya ketika hari sudah gelap, biasanya dekat-dekat jam 7 malam—pernah sekali di atas jam 7—makanya karena itu dia selalu jadi anak yang paling terakhir disini.

Aku atau Tenten-sensei, salah satu pengasuh di hoikuen ini, yang biasanya menemani Sarada hingga ibunya datang menjemput. Setahuku, ibunya adalah seorang mahasiswi jurusan kedokteran. Aku tahu itu karena pernah sekali-dua kali mengobrol sebentar dengan ibunya ketika datang menjemput. Kurasa dia juga seumuran denganku, dilihat dari penampilannya, mungkin sekitar 23 atau 24 tahun.

Aku tidak tahu kalau mahasiswa itu memang sesibuk itu sampai harus pulang malam, habisnya aku tidak pernah kuliah sih. Setelah lulus SMA, aku memilih untuk langsung bekerja dan aku sempat part-time di beberapa tempat sampai yang terakhir aku part-time di hoikuen ini dan setelah 2 tahun berstatus sebagai pengasuh part-time, akhirnya aku diangkat menjadi pengasuh tetap.

Setelah beberapa tahun aku bekerja mengurus anak-anak kecil di hoikuen, baru kali ini aku menemukan yang seperti Sarada dan ibunya, Haruno Sakura. Bukan karena anaknya yang manis dan penurut. Bukan karena ibunya yang seorang mahasiswa dan selalu pulang malam.

Tapi karena—

"Sarada, Mamamu sudah datang menjemput!" suara Tenten-sensei terdengar dari pintu kelas, mengalihkan perhatianku dan Sarada dari beberapa origami burung bangau yang sudah kami buat—anak itu belajar dengan cepat ngomong-ngomong.

"Mama!" girang anak itu. Ia pun menatap ke arah origaminya lalu ke arahku. "Ino-sensei, aku boleh membawa pulang burung bangau ini, ya? Sama aku minta beberapa kertas lipatnya juga!"

"Mau diperlihatkan kepada Mama, ya? Boleh saja. Sarada mau bawa pulang kertas lipat warna apa?"

"Warna merah, pink, dan ungu!"

Sarada memang benar-benar anak yang menggemaskan.

Coming Home to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang