Chapter 1

3.3K 355 25
                                        


"Beneran deh, kalau nanti aku punya anak, aku ingin punya anak yang seperti Sarada," ucapku random dan memposisikan punggungku pada sandaran sofa lebih nyaman lagi.

"Sebelum punya anak, seharusnya cari suami dulu lah."

Kedua alisku berkerut mendengarnya, lalu kulemparkan bantal yang tadi kupeluk pada sumber suara—tak lain dan tak bukan adalah Temari, sahabatku. Temari itu istrinya Shikamaru, teman sejak kecil sekaligus tetanggaku. Setelah Shikamaru lulus dari sekolah kepolisian, laki-laki itu menjadi sangat sibuk bahkan di akhir pekan sekalipun. Jadinya Temari dan anak mereka yang tak lama lagi berusia 2 tahun, Shikadai, sering berkunjung ke apartemenku di akhir pekan.

Biasanya kalau sudah waktunya Shikadai tidur siang, aku dan Temari sering duduk mengobrol santai di ruang tengah sambil membaca majalah atau menonton televisi. Aku dan Temari sebenarnya sama-sama tipe wanita yang keras dan kami sering berbeda pendapat, tapi entah kenapa aku selalu nyaman mengobrol dengannya.

Justru karena perbedaan cara berpikir itulah, aku sering curhat dan meminta pendapatnya. Dia tahu banyak tentangku—seperti makanan favoritku, merk lipstick yang aku gunakan, bahkan kisah cintaku dari zaman SD sampai sekarang. Dia sering menggodaku yang sekarang ini berstatus single dan kadang-kadang suka menjodoh-jodohkanku dengan adik bungsunya cuma gara-gara kami seumuran—aku paling malas kalau Temari sudah begitu dan lagipula setahuku Gaara, adiknya itu, sudah punya pacar di kampung halaman mereka.

Makanya sudah tidak aneh lagi kalau dia menggodaku seperti tadi dan meskipun aku terlihat marah—dengan melemparkan bantal tidak bersalah itu padanya—ia tahu aku sama sekali tidak merasa marah ataupun tersinggung dengan ucapannya. Ia malah melempar balik bantal itu padaku dengan tenang dan melanjutkan membaca majalah kembali seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

"Jangan sampai kau punya anak dulu sebelum suami, Ino." Temari lanjut berkomentar.

"Iya aku tahu," ucapku kemudian, memeluk kembali bantal tersebut, "kau kan tahu dengan mantan-mantanku dulu pun aku selalu berhati-hati. Jadi tenang saja."

Kami pun terdiam. Aku menggonta-ganti channel televisi mencari siaran yang menarik, tapi yang ada saat ini hanya berita dan berita saja, huh. Lalu, tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu.

"Ngomong-ngomong tentang anak diluar nikah," mulaku, "kurasa itu yang tepat untuk menggambarkan Sarada."

"Maksudmu?"

"Aku pernah cerita sebelumnya padamu kan kalau ibunya Sarada itu single mother. Tapi, kurasa wanita itu juga tidak pernah menikah."

"Kau bertanya langsung padanya?"

"Tidak lah. Aku tidak mungkin bertanya hal pribadi begitu padanya. Dia itu orangtuanya muridku. Kalau dia tersinggung aku bisa dipecat," cibirku. "Ini insting, insting!"

"Instingmu sejak kapan tepat, huh. Sebaiknya kau jangan menduga-duga seperti itu ah, tidak baik. Apalagi terhadap orang asing."

"Aku tidak menduga-duga, Temari. Habisnya kemarin aku menemukan sesuatu yang aneh tentang Sarada." Aku pun mencoba mengingat-ngingat kejadian tempo hari saat anak-anak di hoikuen sedang tidur siang. "Waktu itu aku sedang membuka buku data pribadi anak-anak untuk mencari nomor kontak keluarganya anak yang mendadak demam. Tidak sengaja aku melihat datanya Sarada dan kau tahu apa yang kutemukan?"

Temari menoleh padaku. Ia mulai tertarik dengan pembicaraan ini. "Apa?"

"Kolom data ayahnya kosong. Sama sekali tidak tertulis apapun di sana. Bahkan tidak namanya sekalipun," jawabku, bayangan data Sarada tengiang-ngiang di benakku. "Mau bagaimana juga aku berpikir, satu-satunya alasan mengapa datanya kosong itu pasti karena ayahnya Sarada tidak mau bertanggung jawab kan? Jika bertanggung jawab saja tidak mau, bagaimana mungkin mereka menikah?"

Coming Home to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang