18 Choice

255 12 4
                                    

"Happiness is a choice, not a result. Nothing will make you happy until you choose to be happy."

September, 2018

Malam ini aku dan Avandy kembali menjadi sepasang dua orang yang asing, dia masih senang  bersibuk dengan ponselnya dan aku masih betah duduk bertopang dagu di depannya. Tak ada perubahan, hubungan yang hanya sedang berjalan ternyata hanya sebatas jalan ditempat belaka.

Dan sekarang, aku sudah benar-benar muak dengan hubungan yang tidak jelas ini. Jika memang dia pacarku, seharusnya dia memberikanku perhatian lebih bukannya malah asyik dengan sikap dinginnya seperti ini. 

"Bisa gak sih, kamu gak mainin hpmu? Kalo emang kamu mau mainan hp, kenapa ngajak aku keluar? Kenapa gak main hp aja di rumahmu sendiri?" tanyaku dengan nada ketus.

Avandy melihat kearahku, seperti mendapatkan perhatianku dia segera meletakkan ponselnya.

"Kenapa sih kamu selalu cuekin aku?" tanyaku to the point.

"Berapa kali saya mesti ngomong ke kamu, saya memang seperti ini,"

"Apa susahnya sih ngasih perhatian ke aku?"

Kulihat Avandy menghela napas dengan begitu berat, "dengerin deh, saya capek dengan masalah seerti ini. Kalo dimatamu saya selalu ga bisa jadi seperti yang kamu mau, seperti saya harus menjadi lebih dan lebih dari semua yang saya kasih ke kamu dari perhatian dan semua hal. Saya bisa protes apa? Kamu maunya apa? Mau yang lebih perhatian? Mau yang lebih bisa bikin kamu nyaman?

"Kalo kamu menjalin hubungan sama saya cuma buat membandingkan, kenapa kamu milih saya? Harusnya kamu bukan hanya menyalahkan kalo saya gak perhatian dan lainnya. Semua ada alasannya dan saya gak pernah maksa kamu buat ngerti."

Tanpa sengaja aku mengepalkan tanganku dengan kesal, "seolah-olah saya meminta sesuatu yang berat banget yah?" tanyaku dengan penekanan pada kata 'saya'.

Namun Avandy tidak menjawab, ia malah berbalik tanya padaku, "sekarang saya tanya, apa yang harus saya lakuin biar kamu itu ngerti kalo saya sayang sama kamu?"

"Kalo kamu sayang sama aku, tunjukin selayaknya orang yang bener-bener tulus nyayangin aku, bukan pembuktian yang berakhir di mulut saja," jelasku sembari menghela nafas panjang, mencoba menahan emosiku, "Udahlah lupain aja!" aku hendak berdiri, namun ucapannya menahanku.

"Bukan gitu cara menyelesaikan masalah," ujarnya membuatku menoleh kearahnya, "atau kamu pengen nyelesaiin hubungan kita biar gak ada masalah kayak gini lagi," lanjutnya dan membuatku benar-benar menatap kearahnya dengan wajah kesal.

"Kamu bisa nyelesaiin masalah ini kok, cuma kamu pura-pura bodoh aja. Atau, kamu yang memang selalu nyari masalah terus biar hubungan kita selesai."

Aku memilih untuk berjalan meninggalkannya yang masih duduk di teras kosku, "saya gak ada waktu buat ngeladenin sifat kamu yang kayak anak kecil itu," seketika langkah kakiku terhenti karena ucapannya yang membuat bahuku bergedik.

"Dewasalah kamu, kalo kamu ninggalin masalah itu bakal tumbuh subur dan memperpanjang masalah kita," ucapnya tanpa berusaha menghampiriku ataupun menenangkanku.

"Kamu selalu bilang aku gak dewasa, kamu mau aku dewasa yang seperti apa? Aku ngomong sedikit kamu bilang aku kayak anak kecil, ngalah di bilang lari dari masalah. Kamu mau apa? Diem aja ketika kamu sibuk sikap cuekmu?" Ucapku dengan sedikit membentak kearahnya.

"Apa saya harus ninggalin kamu lagi? Seperti dulu saat kamu kepergok lagi rangkulan sama cowok lain... apa saya harus pergi dan kamu baru sadar kalo saya sayang sama kamu?"

Love, KaleelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang