21 Direction

255 13 3
                                    

"Kadang, meskipun tujuanmu hanya satu, kau harus berubah haluan."

Setelah Avandy memilih untuk meninggalkanku, aku memilih untuk menyembunyikan sendu. Sedih memang, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri dengan lengkungan indah dibibirku.

Aku pernah merasa sangat palsu, tertawa lepas ketika bersama dengan keempat sahabatku namun ketika malam sebelum tidur, aku merasa sangat sedih sekali. Entah apa yang ku tangisi, tiba-tiba mataku terasa sangat perih dan air mata mengalir deras tak bisa kuhentikan.

Kenapa harus aku Tuhan? Kenapa? Meratapi nasibku yang selalu ditinggalkan kah? Menikmati karma yang telah Tuhan berikan karena masa laluku? Atau memang aku yang masih terlalu lemah menghadapi dunia yang kejam ini.

Namun, kepergian Avandy menyadarkanku satu hal. Tekadku sudah semakin membulat untuk melupakan yang seharusnya memang pantas kulupakan.

Aku sadar, aku pernah merasa bodoh untuk seseorang. Karena aku pernah meyakinkan dalam percakapan, hingga hanya ada air mata yang berbicara, hingga menangis karena takut kehilangan, namun dia tetap memilih untuk pergi.

Kurasa memang inilah waktunya, Avandy bukan bagian dari masa depanku, mungkin hanya akan jadi bagian masa laluku. Karena jika dia memang benar mencintaiku, maka dia tidak akan menyerah dan tetap memperjuangkanku.

Ketika kemarin dia mendiamkanku, kurasa dia memberikan ruang untuk intropeksi diri, karena aku dan Avandy sudah tidak searah lagi. Dan sikap terakhirnya ini, seperti tak ingin aku tinggal. Mengisyaratkan bahwa ada rasa yang sudah tak lagi sama.

Avandy, tugasku untuk mencintaimu sudah selesai, caramu mengusirku benar-benar lembut, sampai-sampai aku tak sadar bahwa ada rasa sakit yang berlarut-larut.

Sikapmu mengajarkanku, bahwa lelah rasanya jika berjuang seorang diri, aku tau diri jika memang keberadaanku tidak lagi kau inginkan. Kamu mudah datang dan kemudian juga pergi. Membuatku terlatih untuk tertatih-tatih.

Ada menunggu kabar yang tak kau gubris, hingga akhirnya memilih pergi dan membiarkan hati teriris.

Jujur ini sulit bagiku untuk merelakan Avandy bahagia meskipun bukan denganku nantinya. Aku bukannya membenci sebuah perpisahan, tapi justru aku sangat menghargai perpisahan itu.

Perpisahan mengajarkan bahwa pertemuan adalah hal yang harus kita syukuri, lama atau sebentar bukanlah sebuah ukuran dari rasa sakit yang akan kita rasakan nantinya. 

Kisah kita memang baru sebentar, tidak seperti hubunganku dengan Arga yang berakhir di tahun keenam. Namun aku tetap merasakan sakit yang sama.

"Leela,"

Ry berkali-kali menyebut namaku, namun aku memilih untuk terus berjalan menikmati tempat wisata yang kami datangi saat ini. Ayana Gedong Songo, tempatnya berada di kaki gunung Ungaran.

Kurasakan angin sejuk khas pegunungan menerpa wajahku, kumanjakan mata dengan hamparan kota Semarang dari ketinggian, dan juga melihat orang-orang asyik berfoto di spot foto yang menarik.

Bahkan meskipun bukan Avandy yang ada disampingku kali ini, aku tetap mengingatnya sebagai sosok yang pernah menjadi bagian dariku. Pernah berhasil walau akhirnya gagal, dan pernah jadi pemenang walau akhirnya kalah. Dan, pernah disini walau akhirnya pergi.

Aku terus berjalan menghiraukan Ry dengan tatapan kosong. Sampai pada akhirnya Ry berjalan mendahuluiku, dan berdiri didepanku. Aku menghentikan langkah karena terhalang oleh tubuh jangkungnya.

"Apa?" Tanyaku sambil menatap kedua bola matanya.

Seketika itu, Ry jongkok didepanku. Awalnya aku risih hendak menghindar, namun ternyata dia sedang membenarkan tali sepatuku.

Love, KaleelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang