7. Menghilang

821 118 43
                                    

Semua terasa berarti saat tidak berada di sisi.

Menghilang adalah hal yang tidak pernah terpikir olehnya.

Bagaimana sosok yang dianggapnya penggangu itu menghilang?

Hampa dan kekosongan yang akan mulai mengambil alih semuanya.


...

Menghilang.

Keesokan harinya, Jihoon sudah siap untuk kembali memulai rutinitas perkuliahannya setelah kemarin libur. Pertanyaan tentang kejadian kemarin masih bersarang dalam otaknya. Sikap Jinyoung yang berubah kasar dan menakutkan cukup membuatnya terkejut. Jihoon belum pernah melihat Jinyoung yang semarah itu, bahkan kejadian penamparan tempo hari Jinyoung tidak terlihat emosi seperti kemarin. Jihoon mengkhawatirkan hubungan palsunya itu. Dirinya berniat meminta penjelasan untuk amarah Jinyoung padanya.

Sebenarnya Jihoon tengah menunggu Jinyoung mengabarinya. Mengajak dirinya untuk pergi ke kampus bersama. Namun Jihoon hanya bisa menelan pil pahit, tak ada suara dering telepon yang menggema atau suara notifikasi pesan masukpun tidak ada. Jinyoung yang selalu menganggu paginya dengan telepon, memberitahukan hal yang tak penting. Sapaan manis yang menggelikan tidak didengarnya pagi ini.

Jihoon kini sudah berada di luar rumahnya, tanpa diperintah ekor matanya mencari sosok yang terakhir ini selalu mendatangi rumahnya secara tiba-tiba. Tak ada Jinyoung yang tersenyum miring sambil bersandar pada motor jadul kebanggannya. Hembusan napas kecewa terdengar lemah. Perasaan aneh mulai mengerayangi hatinya, Jihoon tidak menyukai keadaan tersebut. Di mana diriya begitu menginginkan untuk bertemu dengan sosok yang dibencinya.

Dengan langkah gontai, Jihoon berjalan keluar gerbang rumah. Langkahnya terasa berat bahkan hanya sekedar berjalan beberapa menit menuju halte di depan. Ia tidak membawa motor sendiri, seolah dirinya sudah menyiapkan diri untuk pulang bersama Jinyoung nantinya.

Jinyoung menjadi satu-satunya objek yang menguasai pikiran dan hatinya saat ini. Semua sudut di dalam otak dan hatinya hanya dipenuhi oleh sosok itu. Jihoon hanya merasa ada satu hal yang aneh pada Jinyoung, sampai sosok itu berhasil mengambil alih pusat kendali otaknya. Itu yang berada di dalam pikirannya selama semalam terakhir.

Perlahan tungkai itu membawa tubuh Jihoon semakin mendekat ke halte, namun suara klakson mobil menghentikan langkahnya sejenak. Jihoon membalikan tubuhnya, mobil sedan hitam berhenti tepat di sisi kanannya. Jihoon memicingkan matanya, guna melihat sosok di balik kursi pengemudi mobil itu.

Perlahan kaca mobil itu bergerak turun ke bawah, "Ji, kau berangkat sendirian?" suara tak asing itu menyapa pendengaran Jihoon.

Sedikit menundukan kepalanya, manik rusa itu terbelalak mendapati sosok sahabatnya telah kembali dari Taiwan. Perasaan senang singgah melihat Guanlin dalam keadaan sangat baik setelah membuat Hyungseob uring-uringan beberapa hari.

Tidak ada pergerakan lebih dari Guanlin, dirinya masih betah duduk di dalam mobilnya. "Kau sudah kembali rupanya." Ujar Jihoon.

Guanlin tersenyum hangat, "Aku akan menemui Hyungseob, kau mau ikut denganku?" tawar Guanlin.

"Terus menjadi obat nyamuk di antara kalian berdua? Tidak. Aku akan pergi kuliah saja." Jawab Jihoon sambil sedikit bercanda.

Guanlin tertawa mendengarnya, wajah tampan yang dikaruniakan Tuhan padanya sungguh tidaklah adil. Bagaimana bisa wajah itu memiliki kulit putih dengan lesung pipi, sebagai pemanis yang sangat sempurna. Hyungseob adalah lelaki beruntung bisa mendapatkan pria seperti Guanlin. Jihoon bahkan tidak pernah sekalipun melihat Guanlin berkata ataupun berbuat kasar pada Hyungseob, berbeda dengannya. Guanlin mengetahui jelas bagaimana memperlakukan kekasihnya dengan baik. Jihoon bersyukur akan hal itu, setidaknya Hyungseob akan sangat bahagia. Dirinya merasa iri dengan hubungan Guanlin dan Hyungseob.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang