14. Gulat Bagian Satu

707 99 63
                                    

Berbagai luka selalu menghiasi wajah kecilnya.

Luka yang akan menunjukkan seberapa hebatnya dia.

Prasangka buruk selama ini membuntutinya.

...

Gulat.

Hari yang silih berganti tanpa henti, menjadikan hari kemarin sebagai sebuah kenangan yang sudah terekam jelas dalam serebrum. Lobus temporal memiliki peranan lebih untuk menyimpan semua data tentang kenangan yang sempat ditorehkan sebelumnya. Satu persatu Jihoon memupuk dalam semua kenangan di otak besarnya. Menjadikan mereka bagian hidup yang tidak akan pernah dihilangkannya sampai kapanpun. Kenangan indah wajib disimpan dengan baik, bukankah begitu? Jika suatu hari nanti Jihoon terjebak dalam ruang rindu, ia bisa dengan mudah membuka kembali lembar demi lembar kenangan indah yang pernah ia torehkan bersama.

Pernyataan yang disampaikan Jinyoung sebelumnya, masih begitu hangat dalam ingatannya. Bagaimana suara berat nan rendah Jinyoung menyapa pendengarannya, menyatakan perasaan yang tidak pernah terpikir oleh Jihoon sebelumnya. Bagaimana kulit mereka bersentuhan, menciptakan kehangatan baru untuk keduanya. Awalnya memang terasa canggung, namun Jihoon sudah tidak sanggup lagi menahan buncahan gejolak yang selalu menyerang kalbunya. Terlebih mengingat pada siapa ia jatuhi hatinya. Akan tetapi logika sudah tidak memiliki dalih yang kuat untuk menolaknya. Jihoon sudah jatuh dalam permainannya sendiri.

Jihoon menyukainya. Ah, tidak. Ia sangat menyukainya, atau bahkan dalam proses mencintainya?

Hal tersebut bukankah sudah terlihat sangat jelas sedari awal? Di mana ketika warna persik menjadi pigmen yang paling mendominasi kedua bulatan pipinya. Di mana debaran-debaran ringan selalu mengiringinya saat bersama dengan sosok pria itu. Atau di mana ketika perasaan resah menggelutinya saat sosok itu menghilang dari radar pandangannya. Jihoon sendiri tidak sadar sejak kapan ia mulai menerima hubungan palsu yang didasari taruhan konyol itu.

Sungguh, jika Jihoon diberi satu permintaan saat ini. Ia ingin kembali ke masa lalu, di mana Hyungseob menantangnya taruhan. Ia akan menolak taruhan itu. Ia ingin mencintai sosok itu dengan cara yang benar, bukan dengan dasar kebohongan dan taruhan. Jihoon ingin menjadikan sosok itu sebagai tumpuannya untuk meraih kebahagiaan yang selama ini menjadi idamannya.

Langkah kaki panjang milik Jinyoung memelan, berusaha mengimbangi langkah kecil Jihoon. Berjalan bersisian memasuki fakultas komunikasi di mana Jihoon menggantungkan harapan akan masa depan karirnya. Puluhan pasang mata memandang mereka dengan tatapan aneh. Tak ayal pendengaran mereka menangkap bisik-bisik samar yang menyatakan ketidakcocokan keduanya. Tak sedikit di antaranya memandang dengan tatapan penuh keterkejutan, mengingat baik Jihoon maupun Jinyoung yang sebelumnya saling membenci kini seolah mengibarkan bendera putih untuk permusuhan keduanya.

Tangan kiri Jinyoung merangkul posesif pundak Jihoon, semakin mendekatkan tubuh Jihoon dengan tubuhnya. Ia sedikit mencondongkan kepalanya, "Jangan dengarkan apa yang mereka bicarakan! Kamu hanya perlu fokus padaku." Bisiknya.

Seketika Jihoon sudah tidak mendengar gunjingan orang-orang. Semuanya terdiam, tak ada lagi suara yang keluar dari mulut mereka. Hanya seorang Bae Jinyoung yang mampu dengan mudah membuat orang-orang terdiam layaknya batu hanya dengan tatapan tajam yang dilayangkannya.

Jihoon mulai terbiasa dengan debaran ataupun kondisi saat ini. Jihoon haruslah cukup berbangga sebab memiliki kekasih yang sanggup meredam kegelisahannya. Sesosok kekasih yang tidak segan menjadi tamengnya untuk menghadapi kejamnya dunia luar. Sesosok kekasih yang mampu memberi ketenangan. Jihoon tersenyum manis, dirinya sudah tidak perlu merasa takut saat ini. Sebab satu hal yang ia sangat yakini, Jinyoung akan sanggup menjaganya dari orang yang memiliki niat buruk terhadapnya.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang