14. Gulat Bagian Dua

667 109 52
                                    

Deg!

Jantung Jihoon seakan berhenti bekerja, bumi yang menjadi pijakannya seketika runtuh. Darahnya berhenti mengalir pada pembuluh darah, napasnya memendek seiring dengan berhentinya kerja jantung. Manik cokelat miliknya menangkap bayang sosok kekasihnya tengah bergumul di atas ring dengan pria lain. Tubuh kurus bagian atas Jinyoung tidak terbalut sehelai kainpun, ia hanya mengenakan celana pendek yang memang diperuntukkan untuk bertanding. Wajah tampan yang menjadi idaman setiap pria harus kembali dipenuhi berbagai jenis luka.

Tiba-tiba tubuh Jihoon kaku, tidak dapat digerakkan sebagaimana mestinya. Pandangannya terkunci pada sosok Jinyoung yang sama sekali tidak menyadari eksistensi Jihoon di dalam sana. Nyeri dan sesak menghujami kalbunya begitu deras, tidak memberi celah untuk sekedar bernapas. Seolah puluhan jarum tengah bersarang di dalam sana, menyisakan rasa sakit yang tidak terlihat. Panas dan begitu sesak, bagaimana mungkin hal itu bisa begitu menyakitkan baginya? Hanya karena melihat sosok yang mulai dicintainya terus menerima bogem mentah dari lawannya. Kelopak matanya memanas seiring dengan keluarnya lelehan liquid bening, melesat tanpa tahu cara berhenti. Jihoon mengigit bibir dalamya, berusaha menahan semua perasaan menyakitkan yang terus mendatanginya secara bersamaan.

Licik. Rasa sakit itu tidak memberinya ampun sedikitpun. Ia kejam, membiarkan pemilik tubuh itu merasakan rasa sakit itu sendiri. Atau memang Jihoon yang bodoh, membiarkan rasa sakit mengambil alih dirinya?

Seakan sadar akan kondisi kacau Jihoon saat ini, Jeongin menepuk ringan lengan atas Jihoon. Mencoba menarik atensi Jihoon, "Kak Jihoon baik-baik saja? Kita keluar dulu yuk, nanti lagi bertemu dengan kak Jinyoungnya." Bisik Jeongin tepat di telinga Jihoon, namun sebuah gelengan kepala Jihoon menjadi petanda bahwasanya si manis enggan meninggalkan tempat itu.

Jeongin melepaskan napas lemahnya, memandang Jihoon dengan tatapan iba. Dirinya tidak tahu jika Jihoon akan begitu emosional melihat Jinyoung yang sedang bertanding. Kalau saja ia tahu, Jeongin akan bersikeras untuk tidak membawa kekasih ketuanya itu masuk. Setitik penyesalan itu timbul menyelimuti hatinya.

Jihoon masih menatap ke atas ring, di mana Jinyoung tengah bermain. Ia marah pada sosok Jinyoung saat ini, ia tidak suka dengan Jinyoungnya yang seperti ini. Di sisi lain, ia merasa gagal menjadi kekasih yang baik untuk Jinyoung. Ia bahkan tidak mengetahui sosok asli dari kekasihnya sendiri. Jihoon merasa tidak berguna saat ini, ia tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan Jinyoung. Yang bisa dilakukannya hanya melihat bagaimana wajah dan tubuh yang selalu membuatnya merasa aman itu mendapat pukulan keras dari sang lawan. Jauh dalam hatinya, ia memanjatkan doa untuk kemenangan Jinyoung. Ia berdoa agar Jinyoung tidak mendapatkan luka yang parah nantinya. Tubuhnya masih diam mematung, dengan liquid bening yang tak habisnya keluar.

Jihoon lemah. Ya, ia lemah jika hal itu berhubungan dengan Jinyoung. Seluruh penjuru hatinya sudah dimiliki sepenuhnya oleh sosok Jinyoung. Mengisi ruang kosong di dalam sana.

Darah segar mengucur dari sudut bibir Jinyoung, dirinya masih belum menyadari eksistensi Jihoon di dalam ruangan. Gemuruh sorak sorai seolah menutup pendengarannya. Jinyoung tengah menumpukan fokusnya pada pertandingan siang itu, ia bahkan tidak menyadari di salah satu sudut ruangan itu ada sosok lelaki manis yang terus merapalkan doa untuknya. Jinyoung tidak menyadari bagaimana kecemasan tengah menggeluti sosok manis yang dicintainya. Sama halnya, Jihoonpun tidak menyadari seberapa banyak tetes air mata yang keluar dari mata indahnya. Ah, bukan tidak menyadari. Akan tetapi Jihoon tidak perduli dengan lelehan air bening itu. Ia hanya memperdulikan keadaan pemilik hatinya. Kecemasan yang terus berkecamuk, mendesak sesak untuk singgah lebih lama.

Salahkah Jihoon jika ia begitu mencemaskan Jinyoung? Atau salahkah Jihoon jika ia sangat ingin menghentikan aksi kekasihnya?

Tangan kirinya merambat naik ke dada kirinya, meremat kuat kemeja yang dikenakannya. Hatinya berdenyut nyeri tak terkira, walau Jinyoung yang menerima pukulan itu. Akan tetapi entah bagaimana ia juga merasakan sakit yang tak kasat mata. Lidahnya kelu hanya untuk memanggil nama Jinyoung. Bibirnya kering tak dapat mengeluarkan seruan berhenti.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang