15. Menginap

815 110 47
                                    

Waktu memang terus bergerak maju tanpa bisa dihentikan.

Tidak ada lagi keraguan akan dirinya.

Kenyamanan yang kini menaunginya.

Ia merelakan dirinya untuk mencintai satu sosok itu.

...

Menginap.

Keheningan menaungi flat sederhana Jinyoung. Tak ada yang memiliki niatan untuk mencoba memecahkan kesunyian yang terjadi, baik Jihoon maupun Jinyoung sepertinya masih menjelajahi pemikiran-pemikiran yang datang menerjang otaknya. Merangkai semua hal yang telah terjadi menjadi sebuah keyakinan. Semua yang telah terjadi penuh kejutan. Mereka tengah mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan akan keraguan yang muncul.

Jihoon duduk bersandar nyaman dengan Jinyoung yang berada di sebelahnya, sofa milik Jinyoung menjadi persinggahan yang nyaman untuk saat ini. Jinyoung mulai memutar piringan hitam kesukaannya, mendengar satu musik instrumen lembut. Alunan yang menggema lembut seolah membawa mereka ke dalam kenyamanan yang menjanjikan. Warna persik masih mendekap hangat di dalam dua bulatan pipi Jihoon, tidak menunjukkan keinginan untuk segera enyah dari pipinya. Jantung Jihoon sendiri menolak untuk menuruti logikanya, ia dengan angkuhnya berdebar kencang tanpa tahu cara memelan. Penyebabnya hanya satu, tidak ada yang lain.

Ya, hanya karena seorang Bae Jinyoung. Pria yang sudah menjadi tuan bagi hatinya saat ini.

Jihoon menarik napas panjang, sebelum menghembuskannya. "Di mana kotak obatmu Jin? Biar ku obati luka di wajahmu." Suara Jihoon akhirnya menjadi pemecah keheningan kala itu. Ya, mereka seolah dilupakan dengan luka yang masih tertanam di wajah dan tubuh Jinyoung. Mereka bahkan sudah sejam yang lalu duduk di sofa empuk Jinyoung, tapi keduanya benar-benar disibukan dengan pemikiran yang datang.

Iris gelap Jinyoung melihat ke arah Jihoon, tersenyum kecil saat netra mereka saling bertemu. Sejurus kemudian Jinyoung berdiri hendak mengambil kotak obatnya. Namun, belum sempat kaki panjangnya melangkah jauh, Jihoon sudah terlebih dahulu mencekal pergelangan tangannya. Jihoon sedikit mengadahkan kepalanya, "Kau mau kemana?" tanya Jihoon lengkap dengan ekspresi bingung.

Jinyoung membungkukkan setengah badannya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Jihoon, sebelah ujung bibirnya terangkat menciptakan seringai. "Aku akan membawa kotak obatnya, Jihoon sayang." Serangan lisan yang digempur Jinyoung mampu menyalurkan hawa panas pada dua bulatan pipi Jihoon, melukiskan semburat merah muda.

Jinyoung dan mulut manisnya menjadi musuh terbesar hati Jihoon, bagiamana dengan mudahnya pria bermata besar itu menciptakan ruang khusus untuknya sendiri di dalam kalbu Jihoon. Ia dengan sangat mudah sejenak menghentikan kerja jantung Jihoon, atau menghentikan Jihoon memproduksi karbon dioksida. Ini bukanlah yang pertama kalinya bibir tipis Jinyoung memanggilnya dengan sebutan sayang. Panggilan yang dulu dianggapnya menggelikan, kini panggilan itu begitu menggelitik hatinya.

Seringai itu semakin terbit dengan angkuhnya, tangannya terangkat menepuk ringan kepala Jihoon. "Bernapaslah, aku tidak ingin kekasihku kekurangan oksigen. Atau kamu memang ingin kuberi napas buatan?" godaan menyerang Jihoon telak. Pupil matanya membesar, tak terima akan serangan yang dilancarkan Jinyoung.

Jinyoung menjauhkan badannya disusul derai tawa mengejek menggema meredam alunan instrument dari piringan hitam. "Ish! Bae Jinyoung menyebalkan!" pekiknya ketika Jinyoung melangkahkan kakinya menjauh dengan tawa yang tak luntur.

Hawa panas masih mendekap nyaman dalam pipi Jihoon, telapak tangannya menangkup kedua sisi berisi itu. Ujung bibir penuhnya terangkat, mengukir senyum manis ketika debaran menyenangkan menguasai hatinya. Ia bahagia, sangat bahagia hanya karena godaan ringan dari sosok yang mulai dicintainya.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang