13. Terima Kasih

926 105 58
                                    

Rasa penasaran semakin menggeliat.

Keinginan untuk lebih mengenal satu sama lain.

Satu persatu kenyataan mulai terkuak.

...

Terima Kasih.

Sang fajar mulai menampakkan diri, ia tengah menyatakan kekuasaannya atas cahaya dan kehangatan di sebagian muka bumi. Angin timur masih berhembus cukup kencang menggerakan kepul putih tebal menghalangi sorot sinar sang penguasa siang. Tak hanya membuat penghalang, angin itu pula kembali mengharuskan daun maple kering berpisah dengan pohonnya. Ironis memang, membayangkan bagaimana sang pohon yang dengan rela menunggu satu persatu helai daun tumbuh, dan kini ia diharuskan bertekuk lutut pada angin yang menjalankan tugasnya. Takdir memang kejam jika dilihat dari satu sisi, namun tidak ada makhluk yang mengetahui maksud di balik itu semua. Takdir sudah mencatat satu persatu hal yang telah, sedang ataupun yang akan terjadi di muka bumi. Tidak ada yang bisa mencegah bagaimana ia menjalankan peranannya di alam semesta.

Jihoon telah bersiap sedari tadi menunggu jemputan dari sang kekasih. Ia duduk selonjoran pada sofa merah di tengah rumah. Kedua ibu jarinya bergerak aktif di atas layar ponselnya -mengirimi puluhan pesan yang ditujukan pada Jinyoung, menyuruh pria itu untuk segera menjemputnya. Jihoon tidak tahan jika diharuskan untuk menunggu, di mana menunggu adalah salah satu hal yang paling tidak disukainya.

Mereka telah memutuskan untuk absen perkuliahan hari ini. Aneh dan sangat tidak mungkin terjadi pada seorang Park Jihoon. Namun, entah bagaimana bisa ide meninggalkan pelajaran yang amat disukainya itu dapat tercetus dari otaknya sendiri. Awalnya Jinyoung menolak keras segala ide melarikan diri dari pelajaran itu, ia tidak ingin menjadi pengaruh negatif untuk Jihoon. Namun, Jihoon tetaplah Jihoon yang sangat keras kepala menginginkan mangkir dari perkuliahan hari ini. Tak ada pilihan lain untuk Jinyoung, mau tidak mau dirinya harus menyetujui hal tersebut.

Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, bukan? Baik Jinyoung maupun Jihoon memang memerlukan waktu untuk mereka habiskan bersama sebelum jangka waktu hubungan palsu mereka habis. Bukankah itu janji yang telah mereka ikrarkan sebelumnya? Dan sekaranglah waktu yang tepat bagi mereka menikmati hubungan palsu itu sebelum semuanya berakhir.

Suara desingan mesin motor terdengar, Jihoon segera bangun dari tempatnya. Bergegas menemui orang yang sudah dinantinya, orang yang sangat ingin ditemuinya saat ini. Keadaan rumah Jihoon sepi dan kosong, dikarenakan sang ibu tengah menemani ayahnya memeriksa kesehatannya di rumah sakit.

Tungkainya berlari kecil menuju gerbang rumah, dugaannya benar. Jinyoung sudah berada di depan rumahnya. Tubuh kurus itu sudah terbalut sweater hitam dengan celana jeans berwarna senada. Ia berdiri di samping sepeda motornya -sedikit bersandar, beberapa anak rambut yang mulai panjang tersapu semilir angin yang berhembus. Untuk beberapa detik Jihoon tertegun akan ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna pada wajah tegas Jinyoung. Setiap lekukan yang terdapat pada wajah kecilnya, tak ada satupun di antaranya yang mengkhianati arti kesempurnaan.

Hal tersebut hanya bertahan kurang lebih satu menit, Jihoon sudah menarik dirinya untuk tersadar akan pesona Jinyoung yang tidak dapat dielakkan lagi. Jihoon mengubah ekspresi wajahnya -datar dan terkesan acuh, tidak ingin terlihat layaknya orang bodoh yang mengagumi ketampanan wajah kekasihnya sendiri. Perlahan ia memperlambat tempo berjalannya, berusaha sekeras yang ia bisa untuk menutupi buncahan perasaan bahagia pada hatinya.

Mata elang Jinyoung menatap lekat Jihoon yang berjalan mendekat ke arahnya. Salah satu sudut bibirnya terangkat melukiskan sebuah seringai pada wajah tegasnya. Menyenangkan ternyata dapat melihat orang yang dulu begitu menggebu membencinya, kini justru menyerahkan diri berjalan menghampirinya. Jinyoung menyukai hal itu.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang