8. Kembali

782 118 36
                                    

Mentari itu kembali menyingsing di atas langit.

Ia kembali dengan membawa perasaan hangat setelah pergi.

Dengan berani kembali menyelinap masuk dalam lemahnya hati.

...

Kembali.

Lima hari berlalu setelah Jinyoung dipastikan menghilang dari radar penglihatannya. Terasa kosong dan hampa, tidak ada sosok pengganggu yang melekat pada Jihoon. Kehidupan normal kembali padanya, namun ada yang salah dengan semua itu. Jihoon tidak terlihat bahagia sedikitpun, ia menjadi lebih pendiam dibanding sebelumnya.

Kepergian sosok Jinyoung, ternyata cukup berpengaruh pada hidupnya. Jihoon lebih banyak melamun, bahkan sedikit melupakan hal yang semestinya disyukuri. Bukankah hal bagus, jika Jinyoung pergi? Waktunya akan cepat berlalu, dan dirinya akan segera terlepas dari ikatan palsu itu. Ia harusnya mensyukuri hal tersebut bukan?

"Ji, kau baik-baik saja?"

Jihoon tertawa hambar, "Aku baik-baik saja. Baguslah orang itu menghilang setidaknya aku tidak perlu berpura-pura menjadi kekasihnya." Jawab Jihoon.

Hyungseob menatap iba pada Jihoon, ia tahu betul bagaimana sifat Jihoon. Saat ini dirinyalah yang sedang berpura-pura baik-baik saja. "Kalau baik, kenapa tidak makan makananmu? Kau sedari tadi hanya melamun sambil mengaduk sopmu itu."

Pernyataan Hyungseob menusuk hatinya. Jihoon tidak bisa berbohong di depan sahabat kecilnya itu. "Aku sedang tidak lapar." Elaknya.

Hyungseob mendengus sebal, "Kau belum sarapan dari tadi pagi, dan sekarang sudah jam tiga sore Ji." Kata Hyungseob dengan sedikit emosi. Hyungseob sebal dengan sikap Jihoon yang tidak pernah menyadari perasaannya sendiri.

Guanlin sendiri tidak ikut campur dengan perdebatan kecil antara Jihoon dan Hyungseob. Sebagai pria, Guanlin tentu tidak menyukai sikap Jinyoung yang menghilang begitu saja. Tapi di sisi lain dirinya meyakini bahwa Jinyoung memiliki alasan kuat untuk itu.

"Kau mengomel saja kerjaannya! Sudah ku katakan berapa kali, aku baik-baik saja! Aku bersyukur dia menghilang, dengan begitu sisa waktuku tinggal sebentar lagi." Kesal Jihoon.

Jihoon beranjak dari tempatnya sambil membawa nampan dengan makanan yang masih utuh, tak disentuhnya sama sekali. Mengembalikan nampan itu pada tempatnya.

Setelah itu Jihoon pergi meninggalkan kantin. Hentakan kakinya terdengar, koridor kampus yang sunyi membuat suara itu terdengar nyaring. Tungkainya membawa tubuh itu masuk ke perpustakaan, tempat sepi yang bisa membawa ketenangan baginya.

Aroma usang dari lembaran kertas bundelan yang tersusun rapih berjajar di ruang kosong kayu. Jihoon mengitari rak buku di dalam, mencoba mencari bacaan yang bisa mengalihkan fokusnya. Satu tangannya mencoba menggapai buku yang jauh di atas sana, kakinya berjinjit supaya bisa mencapainya. Namun hal itu tetap tidak cukup untuk menggapai buku yang ingin diraihnya.

Sebuah tangan bertumpu pada sela kayu di hadapan Jihoon, sebelahnya lagi meraih buku yang ingin Jihoon gapai. Tubuh orang itu sedikit menghimpit tubuh Jihoon. Jarak yang sangat dekat membuat Jihoon bisa merasakan hembusan napas teratur dari orang itu.

"Harusnya kamu menghubungiku, jika membutuhkan bantuan."

Suara itu. Jihoon mengenali betul suara yang baru saja terdengar. Tanpa berpikir panjang, tubuh Jihoon segera berbalik. Jantungnya kembali berpacu cepat, memompa darah agar mengalir. Orang yang selama ini telah mengambil alih seluruh kendalinya berdiri di depannya. Bahkan, sosok itu begitu dekat dengannya. Manik hitam miliknya menatap lekat manik rusa Jihoon, Jihoon menahan napasnya sejenak. Wajah yang selama ini menghilang, berada dalam jarak dekat dengannya. Jihoon bisa kembali merasakan bagaimana hembusan napas hangat sosok itu.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang