EPILOG

715 84 57
                                    

Ikatan palsu terputus.

Membawa sesak kembali menaungi hati.

Takdir telah menjanjikan kebahagiaan di ujung jalan ini.

Ia hanya perlu mengikuti alur kemana takdir membawanya.

...

Epilog.

Hari yang terus silih berganti tanpa memberi sedikit jeda untuk berhenti. Dua tahun telah dilaluinya dengan baik. Terkadang waktu terasa berjalan begitu lambat ketika sosok pria yang teramat dicintainya itu memutuskan untuk mengakhiri ikatan palsu yang mengikat keduanya. Tidak ada yang salah dengan keputusan Jinyoung kala itu, mereka memang seharusnya memutuskan ikatan yang didasari dengan kepalsuan sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian sebelumnya. Satu bulan merupakan waktu yang amat sebentar untuk Jihoon menikmati manis pahitnya masuk ke dalam pusaran merah muda.

Setelah dua tahun berlalu, banyak perubahan yang terjadi dalam diri Jihoon. Begitupun hal-hal yang dilalui olehnya sendirian. Tidak ada lagi pria yang selalu menentramkan hatinya. Setiap hari ia selalu terperangkap masuk ke dalam kotak rindu yang sulit menemukan sang penawarnya. Satu tahun pertama dilaluinya dengan kesedihan yang selalu menemaninya. Namun, semua berubah di tahun kedua kehidupannya tanpa sosok Jinyoung. Takdir menepati janjinya akan kebahagiaan yang menantinya di akhir. Kini, ia telah menjemput sumber kebahagiaannya sendiri.

Hati yang dulu dirasanya telah mati tiba-tiba kembali bergejolak usai bertemu dengan sosok pria yang kini telah menjadi pendamping hidupnya. Perasaan sesak dan sakit yang dulu menghujaminya begitu intens perlahan mundur dan menghilang layaknya embun di pagi hari, Jihoon telah menemukan cintanya kembali. Menemukan sosok yang akan setia membagi kebahagiaan maupun kesedihan di sepanjang hidupnya. Menemukan sosok yang akan setiap menemaninya, berada selalu di dekatnya. Menemukan sosok di mana ia bisa menggantungkan semua angan yang pernah menumpuk. Itulah kebahagiaan yag telah dijanjikan takdir baginya, bukankah itu indah?

Cahaya sang penguasa siang telah menyongsong di atas langit, menunjukkan kekuasaannya. Ia dengan berani menerobos masuk melalui celah gorden yang tak tertutup sempurna. Berusaha untuk membangunkan makhluk manis yang masih setia bergulung di bawah selimut tebalnya, sekujur tubuhnya tertutupi hingga sebatas dagu. Perlahan kedua tangannya keluar dari selimut, ia meregangkan badannya yang terasa pegal. Mulutnya terbuka lebar, ia menguap. Setelah itu kedua kelopak matanya terbuka, mengedip beberapa kali guna membiasakan cahaya masuk ke dalam retinanya.

Rongga parunya terus mengais pasokan udara segar, kemudian mengeluarkan karbon dioksidanya melalui mulut. Surai merah mudanya itu berantakan, ia masih diam termenung dengan posisi yang sama. Jihoon tengah menunggu jiwanya kembali masuk dalam raga tersebut. Selang beberapa menit, kesadaran telah kembali padanya. Ia merasakan sesuatu yang tersampir di atas pinggangnya, perlahan Jihoon mengangkat selimut sejurus kemudian netranya mengintip di balik selimut itu. Sebuah tangan memeluk pinggangnya, seketika wajah Jihoon dipenuhi pigmen merah saat ia menyadari kenyataan lain. Di mana ia saat ini sedang tidak dalam keadaan memakai pakaian lengkap, tubuhnya tidak tertutupi sehelai benangpun.

Beberapa potong ingatan semalam secara tiba-tiba masuk menyerang otaknya, membombardir dengan potongan ingatan akan kegiatan panas yang penuh sarat akan perasaan cinta di antara dirinya dan sang pendamping hidup. Bagaimana malam itu menjadi begitu indah untuk dilupakan. Malam yang dipenuhi seruan nama pria itu. Malam di mana ia menjemput kenikmatan dunia yang tiada taranya. Malam di mana logikanya direnggut oleh kenikmatan yang diberikan sang pendamping hidupnya.

Jantungnya berdebar kencang seiring dengan bulatan pipi yang terus menguarkan pigmen merah. Kalbunya terlonjak kegirangan mendapatkan terus kebahagiaan di satu tahun terakhir ini. Jihoon menggerakan tubuhnya, menggeser hingga menghadap pada sosok pria yang masih terlelap dalam tidurnya di samping kanan.

Deg!

Debaran jantungnya semakin menggeliat setiap kali memandang sosok di depannya. Perasaan tidak menyangka bisa kembali menemukan sumber kebahagiaannya. Jihoon sangatlah bersyukur sebab saat ini ia telah sepenuhnya memiliki sosok itu. Sepasang galaxy miliknya terus memandang penuh kagum pada wajah sang pendamping hidup, walau mata itu terpejam. Namun, pria itu masih memancarkan kesempurnaan di wajahnya. Pria yang memiliki hidung yang runcing, dengan bibir kecil.

Ah! Memandanginya saja tidak cukup memberi kepuasan lebih bagi Jihoon. Ia memutuskan untuk berani mengulurkan tangan kirinya menelusuri setiap lekukan yang Tuhan ciptakan di atas wajah pria itu. Ujung jari telunjuknya menjelajahi satu persatu dari mulai kelopak mata, ujung hidung, pipi kanannya hingga berakhir di bibir kecilnya.

Pandangannya kemudian turun menuju perpotongan leher hingga selangka, netranya menangkap beberapa ruam merah yang nampak kontras dengan kulit putihnya di sana. Wajah Jihoon kembali diserang warna persik sebab dirinya malu, mengetahui ruam merah itu merupakan akibat dari ulahnya sendiri. Jemarinya kemudian turun menyentuh ruam merah di atas tulang selangka. Ujung bibirnya tertarik ke atas membuat sebuah lengkungan indah yang begitu merekah pada wajah manisnya.

"Kau ingin membuatnya lagi?"

Suara rendah terdengar serak menginterupsinya. Gerakan telunjuknya terhenti, kepalanya mengadah ke atas guna melihat wajah pria yang dicintainya. Raut penuh keterkejutan nampak jelas di wajah bulat Jihoon. Ia tidaklah mengetahui bahwasanya pria itu sudah dalam keadaan terjaga.

Iris gelap pria itu memandang teduh sepasang galaxy Jihoon, sementara ujung sebelah bibirnya tertarik ke atas menciptakan sebuah seringai. Tanpa meminta persetujuan dari Jihoon terlebih dahulu, tubuh pria itu dengan cepat terbangun mengurung Jihoon di bawah kuasanya. Sedang kedua mata Jihoon terbelalak kaget, debaran jantungnya semakin giat kencang. Hembusan panas dari napas sang pria membelai setiap inchi permukaan kulitnya.

Sedang pria itu menjadikan kedua sikunya sebagai tumpuan tubuhnya agar tidak terjatuh menimpa tubuh Jihoon yang berada di bawahnya. "Selamat pagi sayang." Sapanya rendah. Ia kemudian mendekatkan wajahnya hingga kedua belah bibir mereka bertemu.

Tak ada penolakan sedikitpun dari Jihoon, dalam hatinya ia juga menantikan ciuman hangat di setiap paginya. Jihoon memejamkan kedua matanya, menikmati bagaimana bibirnya dimainkan oleh bibir kecil sang pendamping. Sementara kedua tangannya sudah mengalung pada leher panjang pria itu, sesekali menekan tekuknya untuk memperdalam cumbuan pada bibirnya. Pria itu melumat bibir Jihoon secara bergantian, jika ia melumat bibir bawah maka Jihoon akan melakukan hal yang sama pada bibir atas sang pria. Begitu terus hingga mereka mendapatkan kepuasannya masing-masing. Sesekali memberikan gigitan kecil pada bibir bawah Jihoon. Sejurus kemudian melesatkan lidahnya ke dalam mulut Jihoon, saling membelit lidah satu sama lain.

Ketika keduanya larut akan permainan lidah masing-masing, secara tiba-tiba indera pendengarannya menangkap suara jeritan tangis seorang bayi yang menggema di dalam ruangan kamar keduanya. Jihoon seakan tersadar, kedua matanya terbuka lebar. Ia menghentikan aktivitasnya, mendorong tubuh pria di atasnya hingga tautan bibir mereka terlepas. Galaxy miliknya memandang pria di atasnya yang sama-sama terkejut mendengar teriakan tangis seorang bayi.

"Minjee."

End.

Selesai sudah epilognya. Awalnya tidak kepikiran mau buat epilog. Aku gak tau mesti nulis epilog seperti apa. Jihoonnya sudah menemukan sumber kebahagiaannya.

Gak tau mesti bilang apa, maaf jika di chap terakhir kemarin kebanyakan kecewa dengan akhirnya. Dan sekali lagi mungkin kalian akan kecewa dengan akhir epilog ini. Maaf beribu maaf jika tidak memenuhi ekspetasi kalian dan tidak mendapatkan feelnya untuk epilog ini.

Sampai Jumpa 👋

Hatur Nuhun.
Ruby, 26 April 2019.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang