6. Lari

908 114 71
                                    

Perasaan aneh itu sudah menemukan inangnya dalam hati.

Menancapkan akar dan mencoba mengambil alih pusat kendali.

Menyalurkan berbagai perasaan hangat yang membuncah.

...

Lari.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu. Begitulah alur waktu yang terus merangkak maju perlahan. Tak ada seorangpun yang dapat menghentikan atau bahkan mengulurnya. Semua sudah ditetapkan takdir. Hari bisa terasa lambat, jika manusia tidak menikmatinya. Begitupun sebaliknya. Tanpa terasa, seminggu sudah Jihoon berstatus kekasih seorang Bae Jinyoung. Pria yang bersikukuh ingin dibencinya. Baru berjalan seminggu, namun terpaan angin yang datang seolah hubungan itu sudah terjalin sejak lama.

Tidak ada perubahan yang berarti, Jihoon masih begitu keras kepala mengingikan kebencian untuk Jinyoung. Ia bahkan terus mengabaikan berbagai perasaan aneh nan hangat yang menyerang titik terlemahnya. Dirinya melupakan satu hal yang terpenting, di mana benci dan cinta hanya dibatasi satu dinding yang amat tipis. Tuhan bisa saja memutar balikkan hati manusianya dengan sangat mudah.

Sebuah deringan keras memekakkan indera pendengaran Jihoon. Menarik jiwanya untuk segera tersadar dari alam mimpi. Masih dalam gulungan selimut, tangan mungil itu keluar mencoba meraih benda yang terus berbunyi nyaring. Nakas sebelah ranjang itu menjadi korban kebrutalan tangan Jihoon untuk mencari benda bising, bahkan buku-buku di atas sana sudah berjatuhan ke bawah.

Setelah mendapat apa yang dicarinya. Tanpa sedikit membuka mata, ibu jarinya menggeser tanda hijau kemudian dengan malas menempelkan layarnya pada telinga kanannya. Mata itu masih sepenuhnya terpejam, tidak ada niatan untuk membuka kelopak indah miliknya. Jadwal perkuliahan yang kosong, digunakannya untuk bersantai atau lebih tepatnya bermalas-malasan di atas ranjang empuk.

"Hallo." Suara serak khas orang yang baru saja terbangun.

"Pagi manisku." Suara penuh godaan dari si penelepon menyapa pendengaran Jihoon.

Kelopak mata itu terbuka lebar, seakan ingin keluar dari tempatnya. Ia menjauhkan ponselnya guna melihat nama yang tertera di layarnya. Perayu Ulung. Nama yang tertera pada layar, bukan nama yang sebenarnya namun Jihoon sudah mengetahui pasti pemilik nama tersebut.

Wajah yang kusut semakin semrawut karena si penelepon yang tak diinginkan, Jihoon menarik napasnya sebelum kembali berurusan dengan sosok itu. Jihoon berusaha abai akan perasaan lain yang mulai menggelitik hatinya, logikanya lebih kuat dibanding hatinya sendiri.

"Ada apa sekarang? Bisakah memberiku sedikit waktu sendiri?" jelas sekali Jihoon tidak menyukai paginya yang harus terganggu oleh Jinyoung.

"Aku merindukanmu."

Dua kata yang terlontar begitu mudah berhasil sedikit menggetarkan hati Jihoon. Dua kata yang biasa didengarnya namun kini terasa amat berbeda. Ia merasakan sengatan pada hatinya, mengaliri perasaan hangat sampai sudut hatinya. Tanpa sadar Jihoon menahan napas sejak telinganya mendengar kata tersebut, kalau bukan karena paru-paru yang terus meronta. Dirinya akan melupakan cara untuk bernapas saat ini.

"Jangan bercanda Tuan perayu." Balasnya mencoba menepis segala yang masuk.

Kekehan lembut membelau telinganya, "Bangunlah, aku sudah berada di depan rumahmu." Seru Jinyoung.

Jihoon terperanjat kaget, tubuhnya langsung terbangun. Pori-pori kulitnya mulai mengeluarkan bulir-bulir keringat, perasaan gugup itu kembali menyerangnya. Bagaimana bisa Jinyoung dengan seenaknya mengatakan bahwa dirinya berada di depan rumah, sedangkan ibunya selalu menyirami tanaman di halaman rumah. Pikiran jika mereka bertemu menghantui Jihoon.

H(ear)t [Deepwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang