"Ini manusia atau lengkuas beneran? Kaku amat." — Bintang
🌸🌸🌸
Ini sudah panggilan ke sepuluh, dan lagi-lagi terputus tanpa jawaban.
"Dasar bule Canada! Pasti masih ngebo ini anak!" omel Bintang yang bergerak membanjiri Maraka dengan beragam pesan. "Jawab bentar elah, biar gue tau weekend nanti mesti kabur apa enggak!"
Ia tak niat bertemu orang tua Maraka beserta anak tunggal mereka yang super tampan. Meski Bintang tau kemungkinannya kecil dapat berjumpa, mengingat jadwal penyanyi solo itu pasti sama padatnya seperti jalanan di jam pulang kerja.
Sosok lelaki itu bukan tipe yang mudah diabaikan kaum hawa. Dalam list tipe ideal Bintang, hampir semua melekat pada diri Maraka. Tampan, mapan, sopan dan terdepan seperti Yamaha.
Namun, melihat betapa repot kehidupan seorang entertainer yang hampir tak memiliki batasan privasi. Ia menyerah dan tegas menempatkan Maraka dalam status perteman. Walau Bintang juga mengakui jika sesekali ia terpesona melihat ketampanan lelaki itu.
Sepasang converse hitam lusuh yang dipakai serampangan itu terus berjalan menyusuri pelataran lobby fakultas dengan pandangan tertuju pada gawai digenggaman. Sebuah dengusan kecil Bintang loloskan kala mendapat pesan dari sang pacar yang mengatakan sedang menjemput pasien.
"Emang cuma lo Chan yang bisa giniin gue," sunggut Bintang.
Jika itu lelakinya yang lain, mungkin Bintang tak akan ambil pusing.
Tapi ini Chandra—pacarnya. Belum pernah ia sebucin ini dalam menjalin hubungan. Biasanya Bintang yang selalu ingin dimengerti, tapi sekarang ialah yang mencoba memahami kesibukan Chandra sebagai koas yang mencari, menjemput, menangani sampai mengantar pasien demi menyelesaikan sejumlah requirement.
Di dunia per-FKG-an, pasien adalah raja. Para koas dituntut memberikan servis terbaik agar pasiennya tidak kabur alias menghentikan perawatan di tengah proses. Terkhusus untuk kasus perawatan yang mengharuskan beberapa kali kunjungan. Jika gagal, sudah pasti ujungnya para koas mengulang perawatan dari awal ditambah kehektikan lain. Mulai dari rebutan dental chair, dikejar deadline sampai menyesuaikan waktu dengan kehadiran dosen yang menjadi supervisor.
Tak memerhatikan jalan, bahu gadis itu menghantam sesuatu yang keras. Untung saja segala peralatan lab sudah dititipkan pada ibu kantin langganan. Kalau tidak, mungkin isi kotak berat itu akan jatuh berantakan.
"B-Bang Jenan," cicit Bintang.
Antara kesal sekaligus takut melihat netra tajam yang berteduhkan alis tebal milik residen prosto tersebut.
Jenandra Alpinia Galanga.
Entah memang nama mencerminkan sikap atau sudah takdir lelaki berperawakan tinggi itu memiliki citra horor bagi para mahasiswa. Label galak, kaku, perfectionist, serta pelit berekspresi sudah melekat pada Jenan. Bintang yang merupakan adik dari sahabat sendiri saja pernah kena semprot habis-habisan pekara terbalik jawab klasifikasi Kennedy* sewaktu Jenan bertanya.
Tapi begitu pun tetap banyak yang mengelukan seorang Jenandra berkat wajah tampan lelaki itu. Seolah mereka menormalisasikan tingkah ketus itu karena fisik hot-nya yang sukses menggonjang-ganjingkan akal sehat para perawan Fakultas Kebanyakan Gadis.
Namun, bagi Bintang. Jenan tak lebih dari sekedar lengkuas, sesuai nama belakang yang diambil dari bahasa latin tanaman herbal tersebut. Alpinia Galanga.
Tubuh mungil itu membungkuk berulang kali. "Ma-maaf, Dok."
Embusan napas kasar terdengar dari arah Jenan. Tanpa sepatah kata pun, lelaki berpostur altetis itu melengos pergi begitu saja. Pamdangannya mengikuti kepergian Jenan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER 365 DAYS [COMPLETE]
RomanceMAU BACA CERITA MENARIK YANG LAIN? BOLEH MAMPIR KE FIZZO --> kumbangmerah _________________________________ Seperti kutipan kalimat, "yesterday is history. Tomorrow is a mystery." Dunia Bintang seakan jungkir balik setelah mendengar keusilan Pap...