11. Parkiran

780 129 5
                                    

Nasi goreng buatan Tariksa nyaris saja menyembur ke muka Jenan di sampingnya saat Andara meletakan kartu atm dan kunci mobil di samping piring anak bungsunya.

Jangan heran kenapa Jenan juga ada di sana. Bagi lelaki itu kediaman keluarga Andara adalah rumah utama, sedangkan apartemennya sendiri menjadi tempat singgah kedua, lalu rumah megah yang dulu menjadi tempat tinggal keluarga kecilnya adalah persinggahan tersekian karena Jenan paling malas pulang demi menghindari sang Ayah.

"Papi seriusan ini dibalikin?" tanya Bintang penuh drama pagi itu yang diangguki oleh Andara.

Tapi, tunggu. Seharusnya Bintang tak boleh terlalu bahagia, sebab kata berikutnya yang keluar dari mulut Andara sukses membuat gadis itu ingin mengetok kepala Jenan detik itu juga.

Dengan penuh nada senang Andara berucap, "iya Papi balikin karena Jenan bilang kamu udah setuju soal pertunangan kalian."

''What the fffffff!'' reflek Bintang menahan ucapannya.

Padahal teeingatnya ia belum menjawab apakah setuju atau tidak. Bintang masih memikirkan semua dampak yang bisa saja terjadi kalau mereka tunangan, sampai gadis itu pun lupa belajar untuk kuis pagi ini.

Tapi itu tidak lebih penting ketimbang masa depannya yang berpotensi suram karena dijodohkan bersama Jenan. Masalahnya Bintang paham sifat Andara yang suka sekali bertindak spontan.

Bagaimana jika setelah tak lama mereka tunangan, keluarga sintingnya langsung menyiapkan acara nikahan Bintang dan Jenan?

Mulut Bintang sudah mau melayangkan protes, andai saja Angkasa tak bersuara. Lelaki itu sedang sakit kepala sekaligus panen sariawan karena stres berat menangani kasusnya.

Jadilah Bintang tak banyak bersuara dan hanya melempar lirikan sinis ke arah Jenan.

"Nyebelin banget sih lo! Gue kan belum bilang setuju," bisik Bintang begitu merapatkan duduk pada sang calon tunangan.

Lelaki berahang tegas itu menoleh sekilas. "Apa? Lo mau acara tunangannya dipercepat?"

"JENAN A TO THE SU! Guguk banget mulutnya!" jerit Bintang dalam hati beserta plototan galaknya.

Sontak saja deretan kata yang sampai ke telinga Andara dan Tariksa itu langsung menimbulkan respon positif.

Tariksa tersenyum menatap putrinya. "Kami senang kalau kalian mau segera diresmikan."

"Kalau gitu tanggal acaranya kita ubah jadi minggu depan aja gimana? Gak perlu nunggu akhir bulan?"

Sementara Angkasa yang merasa janggal hanya bisa menanggapi dengan lirikan. Jangankan untuk bicara, mau makan saja ia kesusahan sampai harus dibuatkan bubur.

Bintang menghela napas panjang mencari alasan. "Tapi minggu depan Bintang lagi sibuk banget Mi, Pi. Udah mau dekat ujian."

"Ujian dua minggu lagi, Bintang. Lagian gampanglah. Kan ada gue yang bisa bantuin lo," ceplos Jenan santai.

Ternyata mengusili Bintang di saat gadis itu tak bisa membalas adalah hal yang menarik. Pantas saja Angkasa senang menjahili adiknya dengan mengungkit sifat nakal Bintang hingga menyudutkan gadis itu sampai tak mampu menjawab.

Mendadak kenyang, Bintang segera pamit pergi ke kampus. Setidaknya ia harus datang lebih cepat dan menghapal sedikit materi sebelum kuis. Gitu-gitu, ia juga ingin punya nilai A. Tapi ambisinya tertutup sewaktu berteman dengan kelompok yang salah.

Honda Brio merah itu melambat ketika sampai di parkiran bagian belakang kampus yang ternyata sama ramainya seperti lahan depan. Maklum saja, jadwal anak FKG itu rata-rata dimulai dari pagi semua. Entah itu untuk skills lab, tutorial atau hanya kelas materi. Tak heran kenapa tempat pemberhentian itu sudah dipenuh oleh kendaraan fancy milik mahasiswa mau pun dosen pengajar.

Kepala Bintang mendadak gatal. Kedua netra cokelat gadis itu celingukan mencari celah yang sekiranya bisa ia masuki. "Tapi di mana, elah Jubaedah!"

Sebenarnya ada satu slot kosong, tapi Bintang tak mungkin bisa memarkirkan mobil mininya.

"Please banget itu mobil sebelah gak bisa musnah aja biar lapak gue makin lebar?"

Bintang payah dalam hal begini. Caranya memarkir kendaraan terlalu buruk dan sering miring memakan tempat. Lahan yang bisa memasok dua mobil saja, bisa jadi hanya dapat diisi oleh Bintang sendiri karena terlalu miring tak tentu arah.

Arloji kecil Bintang dilirik, masih ada dua puluh menit sebelum jam masuk.
"Apa parkir paralel aja, ya?"

Tapi kepalanya langsung menggeleng keras. Terkahir kali nekat melakukan itu karena terburu waktu, mobilnya berakhir mentok dekat tong sampah diujung sana karena di dorong oleh pemilik mobil lain yang merasa terhalang.

Sebab jika parkir paralel, biasanya mobil harus dalam keadaan netral dan tidak di rem tangan karena posisinya menutupi mobil lain. Sehingga jika kendaraan itu ingin keluar, bisa mudah dilakukan dengan mendorong mobil yang terparkir paralel tadi.

Tak niat membuat penyok kendaraan orang lain, Bintang terpaksa memutar kemudi menuju audit. Di sana lapang dan sepi. Tapi minusnya, letak audit lumayan jauh dari fakultas kedokteran gigi.

Namun, baru berniat menginjak pedal gas, sebuah notif terdengar dari ponsel dan diikuti hujanan ting-tang-ting-tong di detik berikutnya.

Membuat rasa penasaran, gadis itu segera mengecek grup kelas. "Anjim! Ngapain itu dosen udah di kelas, Maemunah!"

Ia jadi kalang kabut sendiri, mengomeli kelakuan random dosennya yang tiba-tiba memangkas jam masuk. Pintu kelas akan ditutup kurang dari lima menit lagi, sementara Bintang masih galau mau parkir di mana. Kurang lebih butuh enam sampai tujuh menit berlari dari audit untuk sampai ke kelasnya tepat waktu. Dan bisa dipastikan, gadis yang jarang olahraga itu akan berakhir kehabisan napas lalu mati suri begitu tiba di hadapan sang dosen.

Sebuah ketukan di jendela mobil Bintang mengagetkan gadis itu. Tidak sampai di sana saja, sebab oknum yang mengetuk juga tak kalah membuat jantung Bintang loncat-loncat dari tempatnya.

Wajah tampan tapi tengil milik Chandra terlihat khawatir begitu Bintang menurunkan kaca.

"Masuk kelas sana, biar aku yang parkirkan."

Mulut Bintang sempat melongo sebelum sadar waktunya sudah mepet.

Ia berkedip cepat, menyadarkan diri. "Eng-"

"Buruan turun, Bintang. Keburu pintu kelas ditutup, terus kena tugas paper karena kamu absen. Ini Dokter Hera, lho," ucap Chandra lagi.

Lelaki itu tau dari Zora yang juga tadi langsung ngacir keluar dari mobilnya begitu dapat pemberitahuan dari grup kelas. Chandra yang sejak awal sudah menyadari mobil Bintang pun paham kebingungan sang mantan.

Bintang menggaruk kepalanya lagi. Ia jadi mirip orang kutuan karena panik. Antara gengsi tapi juga terdesak.

Namun, ramainya notif yang masuk pun membuat Bintang tak punya pilihan. Paper tugas dari dokter Hera adalah bencana bagi waktu santai mahasiswa.

Gadis itu membuka pintu mobil. "Nanti gue ambil. Jangan dibawa lari!"

Secepat kilat kaki mungil itu berlari meninggalkan Chandra yang tersenyum penuh kemenangan. Ia berjanji akan mendapatkan hati Bintang kembali, apa pun caranya. Bukan karena Chandra terlalu sayang atau tak bisa move on. Melainkan karena harga dirinya sebagai lelaki merasa terinjak ketika mengetahui Bintang mencampakannya begitu saja dan santai jalan ke sana-sini dengan gandengan baru.

"Tunggu tanggal mainnya, baby. Kita lihat siapa yang bakal ngemis buat balikan."

🪥🪥🪥

AFTER 365 DAYS [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang