23. Warm Hug

771 125 16
                                    

Tarikan lembut pada pergelangan tangan Bintang menolehkan kepala gadis itu menghadap Jenan.

"Udah malam. Ayo pulang."

Gadis bermata sembab itu menggeleng dan kembali menyentuh punggung tangan Angkasa. Lelaki yang biasa merecoki hidupnya itu kini masih terbaring lemah dengan beragam alat menyambung ke tubuh yang baru Bintang sadari terlihat lebih kurus.

Jenan menghela napas panjang memasukan ponsel ke saku celana. Baru saja Andara menelepon untuk memintanya menjaga Bintang, sebab di rumah pun Tariksa masih syok menerima kenyataan Angkasa yang kecelakaan.

Kabar buruk itu bahkan tengah menjadi topik hangat di saluran berita, kecelakaan beruntun akibat rem blong dari truk yang melaju kencang tersebut juga merenggut korban jiwa dan beberapa orang dengan luka serius termasuk Angkasa.

"Bintang," panggil Jenan lembut. "Lo juga perlu istirahat."

Namun, lagi-lagi gadis itu hanya menggeleng dengan tatapan kosong. "Nanti yang jagain Abang siapa?"

"Gue."

Kepala Bintang mendongak lesu. Membuat Jenan reflek begitu saja mengusap lembut pucuk kepala tunangannya. "Gue bakal ke mari lagi buat jagain abang lo."

Merasakan sentuhan itu entah mengapa membuat Bintang teringat perlakuan hangat Angkasa yang suka mengelus kepalanya, walau berujung dengan jitakan sadis dan tawa laknat.

Mata Bintang memanas menahan genangan bening kristal yang sudah menumpuk. Meski dokter menyatakan Angkasa sudah baik-baik saja dan sempat siuman beberapa waktu lalu, tapi tetap saja ia khawatir.

Jenan membawanya dalam dekapan, mengusap belakang kepala Bintang yang sudah tenggelam dalam perutnya karena posisi Bintang yang duduk dan Jenan berdiri. Membiarkan gadis itu kembali mengeluarkan semua rasa khawatir lewat derai air mata.

"Butuh tisu?" tanya Jenan sembari menyodorkan benda yang di maksud.

Kepala lesuh itu mengangguk kecil. Antara malu sekaligus sadar dengan tingkah manjanya pada Jenan seharian ini.

Bintang melepas pelukan, mengusap air matanya cepat. "Thanks and sorry," ucapnya menyentuh kemeja Jenan yang lagi-lagi basah karena ulahnya.

Tak menjawab apapun, lelaki tegap itu malah berjongkok dan menatapnya lurus-lurus. Bukan jenis tatapan yang biasa membuat Bintang ingin sembunyi di balik punggung Angkasa karena takut, tapi kali ini sorot yang memberi rasa betah pada Bintang dan tak masalah jika berlama-lama tenggelam dalam manik legam Jenan.

Segaris senyum tipis penuh pengertian Jenan tampilkan untuk Bintang, ketika sepasang netra mereka saling bertemu.

"Jangan nangis lagi. Bang Kasa kan udah baik-baik aja." Ibu jari Jenan bergerak menyeka sisa bulir bening kesedihan itu dari pipi mulus gadisnya.

Bagai tersengat aliran listrik, Bintang yang menerima perlakuan tersebut hanya mampu terdiam dalam keterkejutan.

Mata tajam yang biasanya memancarkan aura sinis itu entah mengapa terlihat lebih hangat dan—menimbulkan rasa nyaman pada Bintang.

Gadis itu berdeham, mencoba menetralkan degup aneh pada organ bagian kirinya.

"Ja—jadi antar gue pulang?"

"Hmm..."

"Terus lo nanti balik lagi ke sini?"

"Iya."

"Kalau gue gak mau pulang?"

"Berarti lo bakal berduaan sama gue di sini, semalaman."

Bulu mata kuyup itu berkedip cepat. Satu sisi, tubuh Bintang rasanya pegal dan ingin pulang. Namun, di sisi lain ia tak ingin melepaskan pandang dari Angkasa, terlebih Bintang malas sendirian di kamar. Tanpa kebisingan abangnya dan—Jenan.

"Oke, then."

Sebelah alis Jenan terangkat naik.

"Kita bakal istirahat di mana? Di situkan?" Bintang menunjuk bed pasien kosong di sebelah Angkasa.

Sengaja Andara atur untuk Jenan yang memang malam ini bersukarela berjaga.

"Kita?" ulang Jenan mengikuti arah telunjuk Bintang.

Tempatnya memang cukup luas untuk dua orang. Tapi—

"Gue yang di sana. Lo tidur di sofa, kan muat tuh sama badan mini lo," lanjut Jenan semena-mena menyentil pelan kening Bintang yang kini melotot di tengah mata sembabnya dan justru terlihat menggemaskan.

"Ck! Tunangan macam apa lo biarin gue tidur di sofa!"

"Sadar kita tunangan?"

"Ya sadarlah."

"Tapi kenapa masih berani ganjen sama buaya-buaya kampus?"

Kepala Bintang menoleh cepat. "Siapa yang ganjen? Mereka yang dateng, ya kan sebagai manusia ramah gue sahutin balik dan gak—"

"Mulai sekarang lo gak bisa lakuin itu lagi," potong Jenan tegas dan mengubah posisi menjadi berdiri. Menatap penuh intimidasi ke arah Bintang yang tadinya hendak mengeluarkan protes.

"Wait-wait," kata Bintang. "Mungkin lo lupa perjanjian kit—"

"Gak lupa."

"Kita memang tunangan. Tapi cuma se.ta.hun dan lo gak punya hak buat campuri hubungan gue."

Sebelah sudut bibir Jenan terangkat. "Siapa bilang?"

"G—gue?" ragu Bintang.

Ia tak tau entah apalagi yang sudah disepakati Jenan dengan keluarganya perihal perjodohan singkat mereka ini.

"Oiya?" tantang Jenan, masih beserta senyum penuh artinya. "Tapi gue gak yakin perjodohan ini cuma jalan setahun."

"Hah?!"

"Ssst!"

Buru-buru Bintang menutup mulut toanya setelah dikode Jenan yang takut mengganggu istirahat Angkasa.

Tanpa kata selanjutnya, lelaki tegap itu keluar dari kamar rawat inap yang diikuti Bintang segera. Percakapan mereka belum selesai, tapi kenapa Jenan selalu kabur-kaburan dan meninggalkan Bintang dalam kebingungan dengan sikap lelaki itu.

Di luar Bintang nyaris meraih kemeja Jenan jika saja tak mendengar seruan namanya dari belakang. Butuh setengah menit bagi gadis kucel itu untuk mengenali sosok serba hitam dengan topi, masker dan kacamata di tengah malam begini di hadapannya tersebut.

"It's me," ucap si serba hitam.

"Maraka?" bisik Bintang sangsi tapi berujung lega sewaktu sosok itu melepas kacamata dan masker mulutnya.

"Tutup lagi," cicit Bintang membenarkan letak masker Maraka yang kini terkekeh. "Bisa ribet kalau ada yang lihat."

Maraka tersenyum lebar.

Lelaki bertubuh tinggi itu langsung menubrukan diri dan membawa Bintang dalam rengkuhan hangat.

"Ma—Mark?"

"It's okay. I'm here. Sorry, baru bisa nyusul sekarang." Maraka mengusap lembut belakang kepala Bintang.

Sebisa mungkin ia menyelesaikan pekerjaannya dan segera menemui Bintang, sebab Maraka gak ingin membiarkan gadis kesayangannya berlarut sedih sendiri. Ah—bukan hanya itu, tapi juga karena keberadaan Jenan di dekat Bintang yang sudah Maraka prediksi.

Maraka tak suka dan merasa posisinya bisa saja terancam.

Tubuh yang semula kaku karena kaget itu berangsur rileks menerima pelukan tiba-tiba Maraka.

Bintang membalas dengan erat, melepas semua lelah dalam dekap hangat Maraka yang selalu membuatnya lebih santai.

Juga membuat gadis itu lupa akan tujuannya keluar tadi, dan tak menyadari jika ada sepasang mata di depan sana yang tengah menatap mereka tak suka.

🪥🪥🪥

AFTER 365 DAYS [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang