28. A Rose

749 121 3
                                    

Guncangan penuh tenaga itu kembali mengusik ketenangan Bintang. Masih dalam gulungan bed cover-nya, tubuh mungil si bungsu itu tergoncang ke depan belakang akibat ulah bar-bar Angkasa yang memaksanya untuk bangun.

Sekali lagi lelaki itu mendorong punggung Bintang. "Bangun kebo, bangun! Matahari udah di atas kepala, masih aja molor."

"IIIIIIHHHHHHH!"

"Bangun, Bintang!" Kini wajah bantal gadis itu terpampang nyata setelah Angkasa menyibak kain tebal tersebut. "Bangun, Dek. Lo gak lihat sekarang jam berapa?!"

Bintang mengerang tak peduli. "Bodo!" serunya sebal.

Tiada hari tanpa diganggu Angkasa. Jika itu hari kuliah, mungkin ia masih maklum. Tapi sekarang sudah masuk libur semester, catat, LIBUR SEMESTER! Lantas di mana letak masalahnya kalau tidur dari pagi sampai pagi lagi. Toh, cuma itu cara satu-satunya agar ia tak bertemu—melihat—mendengar suara dan memikirkan Jenan.

"Ck! Ini anak," decak Angkasa lalu melirik arloji di pergelangan tangan. Harusnya ia sudah otw ke kampus kalau saja tak terbebani permintaan aneh seseorang.

"Heh! Gue mau tanya," suara Angkasa lagi. Tangannya usil menjewer telinga Bintang agar mau melihat sejenak.

Tangan kokoh Angkasa tertepis kasar. "Apalagi, sih, Bang?! Jangan bilang lo mau tanya warna kemeja lagi?"

Angkasa itu aneh. Belakangan setiap pagi selalu merecoki Bintang tentang warna kemeja apa yang cocok dipakai hari itu. Masih mending jika abangnya mengikuti pilihannya. Lha, ini—sudah menganggu ketenangan orang lain, Angkasa justru mengenakan pakaian yang tak sesuai anjuran Bintang.

"Nah itu lo tau. Buruan jawab," desak Angkasa santai, mengabaikan sorot Bintang yang seakan tengah bersiap menerkamnya.

"Lo kan udah pakai baju! Terus kenapa tanya warna lagi?! Pilihan gue juga gak pernah lo dengar!"

"Yaelah jawab aja kenapa."

"Gak mau!"

"Jawab aja udah. Apa susahnya, sih," cecar Angkasa. "Ntar gue traktirin seblak langganan lo di depan kampus deh."

Bintang menoleh cepat. "Masa seblak doang!"

"Yaudah, tambah pizza small sekotak."

"Ck! Yang besarlah! Pelit banget lo jadi saudara," pinta Bintang.

Angkasa mengadah menatap langit-langir kamar, menahan ledakan rasa kesal. Jika bukan karena kalah taruhan, mungkin ia tak harus menuruti kemauan konyol oknum bernama Jenan.

Angkasa menghela napas panjang. "Yaudah, iya," kalahnya.

"Sama iced americano juga. Dua."

"Ngelunjak ya lo?"

"Yaudah kalau gak mau." Bintang sudah bersiap memunggungi Angkasa kalau saja tak segera dicegah.

"Ck!  Terserah lo, iya. Gue beliinn lima sekalian biar lo gak bisa tidur sepanjang malam."

Sudut bibir Bintang terangkat sempurna membentuk senyum manis. "Deal, sama JCO sekotak kalau gitu. Banyakin yang toping matcha."

"Astaga. Minta dilempar ke Jenan lo nampaknya, ya?!"

Wajah sumringah yang tadi asyik membuat miskin dompet Angkasa itu langsung berubah masam ketika mendengar nama yang tak ingin didengarnya. Kan Bintang jadi kembali terbayang wajah dingin lelaki itu.

Gadis itu menghirup dalam udara sekitar. Tadi malam ia bermimpi Jenan yang memakai kemeja soft pink. Terlihat lucu tapi juga tampan.

"Ah—memang kapan Jenan pernah jelek di mata lo?" desah Bintang membatin.

AFTER 365 DAYS [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang