BAB 3

4.7K 373 101
                                    

Siang baru saja berganti malam. Burung-burung sudah kembali ke sangkarnya masing-masing. Cahaya Bintang sudah bertaburan, menghiasi indahnya suasana malam di kota Jogjakarta. Namun sang Rembulan belum saatnya menerangi gelapnya malam. Wali sedang merapikan sajadah dan melipat sarungnya. Sudah menjadi kewajiban Wali seorang muslim untuk selalu menjalankan ibadah dan melaksanakan perintah-Nya.

Karna hanya kepadanya-Nya lah Wali selalu menceritakan semua masalahnya. Masalah hati yang selalu menjadi beban pikiran , masalah perasaan yang tidak tertarik dengan lawan jenisnya. Kepada-Nya Wali selalu memohon semoga bisa dihilangkan perasaan yang tidak biasa itu, tapi sayang, perasaan itu malah semakin kuat saja.

Tinggal sendiri di kota orang, dan berada di ruangan yang luasnya cuma 3x4 m, terkadang membuat wali selalu merasa kesepian. Hanya buku-buku tebal yang selalu setia menemani malam panjang remaja tujuh belas tahun itu. Namun kejadian tadi siang membuatnya tidak fokus membaca. Suatu hal yang tidak pernah disangka, dan membayangkan pun ia tidak berani. Pikirannya melayang dan telapak tangannya menarik rambutnya frustrasi. Wali beranjak dari kursi belajar dan merebahkan tubuh pada kasurnya yang menghampar di lantai. Ia tidak berhenti berpikir, apa yang membuat Sandra menerima pernyataan cintanya. Wali masih belum yakin.

Suara pesan masuk dari HP di atas nakas mengagetkan Wali. Ia lalu bangkit dan melihat layar HP tertera di sana. Satu pesan dari Sandara

Malam, Wali.

Harusnya Wali bahagia menerima pesan dari cewek yang tadi siang menerima cintanya. Tapi melihat ekspresinya yang datar, sepertinya remaja itu tidak merasakan demikian. Malah ia menghela napas ketika ngetik balasan yang cuma tiga huruf saja. Iya.

Berbeda dengan Wali yang malas, Sandra sepertinya terlalu bersemangat. Baru beberapa detik balas pesan dari cewek itu sudah muncul di layar Wali

Besok hari minggu aku mau ke kosan kamu.

Wali membuang napas lebih berat. Tentu saja ia bingung bahkan takut. Ia tidak tahu bagaimana caranya berkencan dengan seorang gadis. Lebih tepatnya ia tak tertarik. Namun sadar cewek itu sudah menjadi pacarnya, ia tidak bisa menolak permintaan Sandra. Dengan berat hati akhirnya Wali membalasnya. Iya boleh.

Wali sengaja membalas singkat dan berharap tidak ada balasan lagi dari Sandra. Bukan malas, Wali cuma tidak tau bagaimana cara menanggapi seorang wanita. Ia juga tidak ngerti gimana harus bersikap pada wanita yang kini menjadi kekasihnya, pacar pertama tapi bukan cinta pertamanya.

***

Suara ketukan pintu yang dibarengi salam terdengar dari balik pintu kosanya. Wali yang baru saja bersih-bersih kamar kost- hanya mengenakan celana kolor dan singlet, dengan langkah cepat mendekati pintu lantas membukanya. Ia tersenyum canggung setelah melihat Sandra di depan pintu sedang tersenyum manis padanya. Sangat cantik meski tidak memakai make up. Rambut lurus yang dibiarkan terurai membuatnya terlihat anggun, saat angin sepoi berembus menerbangkan anak rambutnya beralun-alun.

Wali buru-buru menyilangkan kedua tangan di dada. Ia merasa salah tingkah dengan keadaan dirinya yang cuma memakai singlet. Tidak hanya itu dadanya juga seperti digedor-gedor namun bukan karena sedang berhadapan dengan Sandra. Melainkan karna sosok laki-laki tegap tinggi menjulang, tampan dan gagah berdiri di belakang Sandra. Wali sampai terkesiap bahkan bengong menatap wajah berrahang tegas- sedikit kehitaman akibat bewok yang dipangkas tipis.

"Wali."

Suara lembut Sandra menyentak Wali dan membuatnya gugup. Cowok itu buru-buru mengatasi diri dan mengalihkan perhatiannya pada cewek itu.

"Eh, iya." Wali tersenyum kikuk.

"Kamu kenapa bengong?" kata Sandra. "Enggak boleh masuk, ni?"

"Oh, iya boleh, eh maksudnya boleh, lah." Sambil melirik pada laki-laki di belakang Sandra- sedang menatapnya intens, Wali menggeser tubuh, memberi akses masuk pada dua tamunya.

Sandra tersenyum dan melangkah masuk, diikuti oleh laki-laki itu yang mengenakan kemeja tangan panjang, dipadukan dengan jeans hitam.

"Oh iya Wali, kenalin ini abangku. Namanya Sandro," kata Sandra. Ia sudah berada di dalam kosan Wali sambil memeluk pergelangan kiri kakaknya.

Ragu-ragu Wali mengulurkan tangan. Namun seketika ia tersentak bahkan seperti tersengat listrik, saat telapak tangan kasar Sandro dengan sigap membalas jabat tangannya dan mencengkeramnya erat.

"Sandro."

"Saya Wali Mas, eh Bang." Wali berusaha mengimbangi bagaimana Sandra memanggil Sandro- abang. Ia tahu, Sandra bukan asli keturunan Jawa sama seperti dirinya. Melainkan pindahan dari Jakarta.

"Iya, tahu. Pacarnya Sandra, kan?" kata Sandro. Untuk kata-katanya itu ia mendapat cubitan kecil di lengan dari adiknya yang merona karenanya.

"Abang ini apa-apaan." Sandra mengalihkan perhatiannya pada Wali. "Maaf ya Wali, aku emang udah cerita kalau kamu pacarku."

"Enggak apa-apa," jawab Wali meski setengah kecewa. Tentu saja, status pacar menyandarkan khayalan Wali- sempat membayangkan hangatnya di pelukan Sandro, bahwa ia tidak mungkin memiliki lelaki itu.

"Oh iya, duduk dulu, tapi maaf ya, di lantai," kata Wali kemudian.

"Enggak apa-apa, santai aja kali," sahut Sandra.

Sambil mengamati barang-barang yang ada di kosan Wali seperti; kasur yang menghampar di lantai, lemari yang sekaligus berfungsi sebagai meja belajar, Sandra dan Sandro mendudukkan pantatnya ke lantai.

"Bentar, ya, aku tinggal ke kamar mandi dulu," ucap Wali sambil memandangi dirinya sendiri.

"Iya udah sana," kata Sandra.

Sandro hanya refleks mengangguk dan tersenyum sambil memandangi tubuh remaja itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

Mengambil baju di lemari, Wali melesat cepat ke kamar mandi yang masih berada di dalam kosan. Di dalam kamar mandi, ia menyender pada tembok, mendongak dan menatap plafon. Telapak tangannya terangkat, menyentuh dadanya yang memisahkan debaran. Dalam diam Wali kemudian bertanya pada diri sendiri. Mengapa debaran kencang itu ia rasakan bukan pada Sandra, melainkan pada Sandro. Memikirkan itu hatinya gelisah bukan main.

"Wali, kok lama."

Wali baru bergegas mengganti pakaiannya setelah mendengar Sandra berteriak.

"Iya, bentar."

***
Obrolan ringan dan hangat terjalin di ruangan kost yang kecil milik Wali. Meski Sandro tidak banyak bicara, akan tetapi kehadirannya membuat Wali tidak seperti biasanya. Gelisah dan salah tingkah dengan senyum dan tatapan yang kadang terlempar untuknya.

Kepada Wali Sandra menjelaskan; Sandro seorang kakak yang over protektif. Lelaki itu harus tahu dengan siapa adik kesayangannya berteman bahkan pacaran. Itu yang menjadi alasan mengapa Sandro perlu menemani Sandar datang ke kosanya. Saat sedang menjelaskan itu sesekali Wali tertangkap basah oleh Sandro ketika sedang mencuri pandang. Hal itu membuat Sandro malah menarik sebelah ujung bibirnya.

Sungguh ini benar-benar kali pertamanya Wali sulit untuk menepis perasaan sukanya pada seorang laki-laki. Dan sialnya laki-laki adalah kakak dari cewek yang baru saja menjadi pacarnya. Pesona Sandro seolah menarik lirikan mata Wali agar selalu tertuju ke arahnya. Sialnya lagi Sandro malah merasa seperti menyadari itu.

Tidak terasa obrolan itu terjadi cukup lama hingga Sandra dan Sandro akhirnya harus berpamitan. Mereka bertiga beranjak dari duduk dan berjalan keluar kosan sampai berhenti di pinggir jalan.

"Wali aku pulang, ya. Abang udah kenal kamu jadi besok aku boleh main sendiri," kata Sandra saat sudah berada di samping mobil.

"Oh iya, hati-hati. Maa ya keadaan kosanku kayak gitu."

"Enggak apa-apa kali."

"Wali," panggil Sandro tiba-tiba dan sukses membuat jantung Wali seakan lepas dari tempat asalnya. " Abang minta kontak kamu, boleh. Biar Abang bisa kontrol Sandra lewat kamu."

Deg.

Wali menelan ludahnya.

A-P-G (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang