BAB 5

4.8K 337 46
                                    

Sandra menutup pintu mobilnya secara kasar. Bersama rasa jengkel, cewek itu lalu berjalan ke rumahnya. Entahlah, kejadian tadi di sekolah,  perlakuan Yuza dan dua temanya terhadap Wali masih menyisakan rasa kesal sampai pulang Sekolah, bahkan hingga tiba di rumah. Sialnya rasa kesal itu tidak bisa ia tutup dan tergambar jelas di wajahnya.

Sandro, yang kebetulan duduk di kursi teras, sampai terheran-heran melihat wajah sang adik. “Kamu kenapa, dek?”

Sandra mendudukkan dirinya di kursi, di samping Sandro. “Aku kesel banget Bang, sama Yuza.”

“Siapa Yuza?” Sandro bertanya.

“Temen Sekolahku, Bang.” Apa pun yang berhubungan dengan Yuza, Sandra malas membahas. Tidak heran jika wajahnya terlihat kesal. “Dia sama dua temennya itu enggak pernah berhenti gangguin Wali." Sandra menidurkan kepalanya di lengan kekar sang kakak. “Aku kasihan sama Wali, Bang.”

Sandra lantas menceritakan insiden di kantin tadi pagi. Tidak hanya itu, kenakalan-kenakalan lain yang sering dilakukan Yuza dan dua temannya, tidak luput ia ceritakan.

Sandro hanya diam, namun ia menyimak antusias. Mendengar kenakalan yang dialami Wali secara otomatis ia jadi mengingat, membayangkan wajah polos yang ia temui tempo hari di kosan bersama Sandra.

“Kasihan,” Sandro membatin.

***

“Sudah pulang, Wali,” sapa ibu kost yang kebetulan berpapasan dengan Wali di halaman.

Rumah Ibu kost yang memang masih satu halaman dengan tempat di mana Wali tinggal, membuatnya sangat mengenal Wali dengan baik. Dari beberapa anak yang kost di tempatnya, Wali merupakan anak kost yang sering mendapat perhatian khusus darinya. Sikap dan pribadi Wali yang sederhana, baik, dan kadang suka membantunya, membuat Ibu kost menganggapnya seperti anak.

“Sudah, Bu.” Jawab Wali sambil berlalu.

Setelah sampai di depan Kost, Wali mengambil kunci di dalam tasnya, lantas  membuka dan menutup kembali pintu itu. Tempat kost yang hanya satu ruangan, membuat ia langsung melihat tempat tidur begitu kakinya melangkah masuk.

Wali meletakan tasnya di atas meja belajar. Ia kemudian berjalan ke arah tempat tidurnya dan duduk bersila di sana. Ia mengangkat pergelangan tangannya dan melihat luka yang sudah di bungkus perban. Melihat luka itu otomatis otaknya membayangkan kejadian tadi sekaligus kenakalan-kenakalan Yuza dan temen-temennya yang sering ia terima. Hatinya terasa nyeri saat wajah sang ibu yang telah membesarkannya sepenuh hati, tidak pernah melukainya, tiba-tiba melintas di benak.

“Bu, aku pengen pulang.” Wali terisak. Menggunakan telapak tangan ia menyeka air mata yang tidak pernah ia keluarkan di depan umum.

Suara ketukan pintu mengagetkan Wali. Cowok itu buru-buru membersihkan air matanya dan sekuat tenaga bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

“Siapa?”

“Ini Ibu, Wali.”

Beranjak dari duduknya, Wali kemudian berjalan mendekati pintu dan membukanya.  “Ada apa bu?”

Marni— ibu kos Wali, tersenyum. “Tadi ibu lihat tangan kamu kok diperban, terus Ibu penasaran, mangkanya ibu ke sini. Memangnya kenapa Wali?” tanya Marni Sambil melihat perban yang membungkus luka Wali.

“Oh, ini enggak apa-apa Bu,” bohong Wali. “Tadi ada kecelakaan kecil di Sekolah.”

Marni meraih tangan Wali dan menatapnya prihatin. “Yakin enggak apa-apa? Apa Ibu minta tolong Bapak biar antar kamu ke Puskes?”

“Enggak usah bu ini sudah diobati di UKS sekolah, tadi.”

“Yakin?” Marni menatap ragu pada pergelangan Wali.

“Iya bu,” tegas Wali. “Besok pasti kering, lukanya.”

“Oh, yaudah kalau gitu. Tapi kalau perlu apa-apa kamu jangan sungkan, ya.”

“Terima kasih, Bu.”

Marni mengulurkan keresek warna hitam ke arah Wali. “Ini buat kamu.”

“Apa ini Bu?”

“Ini tadi pagi di pasar ibu beli jeruk kebanyakan. Dari pada enggak habis jadi ibu kasih buat kamu,” jawab Marni berbohong, karna sebenarnya ia memang sengaja membelikan itu untuk Wali. Sikap Wali yang sering membantu Marni dan Suaminya jika sedang sibuk dengan pekerjaan rumah, membuat perempuan itu selalu ingat Wali kalau membeli jajanan atau makanan apa pun.

“Terima kasih banyak bu, harusnya enggak usah repot-repot.”

“Enggak apa-apa, ya sudah ibu pamit, jangan lupa lukanya di obati, lagi.” Kata Marni. Ia kemudian berlalu setelah Wali mengangguk takjim.

Wali masuk kembali ke kosan dan menutup pintu setelah Marni pamit. Ia tersenyum menatap keresek di tangannya. Dan ia merasa beruntung, meski jauh dari ibunya, tapi Wali dipertemukan dengan Marni yang sudah seperti ibu kedua baginya. Sikapnya yang hangat membuat Wali betah tinggal di kosan nya.

Meletakkan bungkusan dari Marni di atas meja ia lalu berjalan ke kasur dan merebahkan dirinya di sana. Ia terdiam menatap langit dan teringat dengan sosok Sandra. Cewek cantik  yang kini menjadi kekasihnya. Hingga detik ini ia masih bimbang dengan perasaannya. Wali merasa Sandra terlalu baik untuk di bohongi. Namun melihat perhatiannya ia tidak tega menyakiti gadis secantik, dan sebaik Sandra. Dan sialnya, memikirkan Sandra ia jadi teringat akan sosok Sandro. Pemuda gagah yang mengantarkan Sandra main ke tempat kost nya. Anehnya jantungnya lebih berdesir hebat ketika senyum Sandro melintas dibenaknya.

Suara panggilan masuk dari HP di kantung baju membuyarkan bayangan-bayang Sandro dibenaknya. Namun ia lebih terkejut setelah mengambil HP dan melihat layar di sana tertera. Bang Sandro memanggil.

A-P-G (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang