Sepanjang kakinya melangkah ke Sekolah, wajah Wali terlihat murung dan tidak bersemangat. Cowok itu sedang kepikiran sikap Sandro yang kembali berubah drastis, bahkan lebih cuek. Pagi hari setelah kejadian malam itu- kejadian dimana Sandro menggagahinya dengan beringas, pria itu kembali tidak menegur nya. Bahkan Sandro gagal mengantarkan ia pulang ke kosan yang akhirnya ia diantar oleh Sandra. Itu pun Sandro tidak menyampaikan langsung padanya, melainkan melalui Sandra bahwa ia- Sandro, mendadak ada acara.
Wali membuang napas gusar. Ia benar-benar gelisah memikirkan dimana letak kesalahannya. Apa karena ia berkata jujur tentang perasaannya yang lebih menyukai pria itu? Tapi, bukankah sebelum Sandro menyetubuhinya ia sudah lebih dulu berterus terang? Malah, setelahnya Sandro tetap menyerang dengan buas, menyentuh bagian-bagian pribadinya dan mencumbuinya penuh nafsu.
Jika hubungan intim itu tidak pernah terjadi, mungkin Wali tidak akan se-resah ini memikirkannya. Pasalnya ia jadi bertanya-tanya, bagaimana orang bisa langsung berubah sikap setelah tubuh saling menyatu- bahkan penuh gairah, tanpa masalah berarti. Atau mungkin Sandro hanya menganggap itu sebagai pelampiasan- karena Sandro adalah laki-laki normal? Setelah rasa penasarannya terpuaskan, pria itu tidak lagi membutuhkan. Berbeda dengan dirinya yang menyukai laki-laki dan menggunakan perasaan saat berhubungan intim dengan pria itu.
Sungguh, jika benar seperti itu adanya- Sandro hanya penasaran, Wali tidak menyalakan pria itu. Yang salah adalah perasaannya. Jatuh cinta dengan laki-laki normal hingga ia rela memberikan tubuhnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan pria itu.
Tapi tidak bisakah Sandro berterus terang? Berbicara padanya jika apa yang telah terjadi hanya karena penasaran dan tidak lebih. Meski menyakitkan, setidaknya itu lebih membuat Wali lega. Ia pun akan berusaha menganggap itu tidak pernah terjadi atau bahkan melupakannya. Meski ia tahu akan menyiksa batinnya.
Langkah pelan Wali membawanya sampai di depan gerbang. Namun cowok itu urung melangkah masuk, jantungnya berdebar kencang melihat mobil yang ia kenal, berhenti tepat di depannya. Ia mematung menatap mobil sedan hitam itu dan melihat siswi berseragam putih abu-abu keluar dari dalam mobil lantas berjalan ke arah pintu bagian kemudi.
"Hye kamu udah berangkat," sapa siswi itu- Sandra. Ia terlihat sangat ceria.
"Iya udah," jawab Wali sambil mengangguk. Jantung Wali bergemuruh tidak karuan ketika kaca bagian pintu kemudi diturunkan dan terlihatlah di sana, wajah yang membuat hatinya gelisah semalaman dan sepanjang perjalanan ke sekolah. Melihat wajah yang memakai kacamata hitam itu, hati Wali berdesir. Ganteng banget.
"Hati-hati ya, Bang," kata Sandra. Gadis itu membungkuk di dekat pintu. "Oh iya, nanti aku boleh ajak Wali, kan?"
Sandro mengangguk sambil melepas kacamata hitamnya. "Iya, boleh."
"Makasih Bang," ucap Sandra lantas menjauh dari mobil dan mendekati Wali.
Di posisinya Wali tersenyum menyapa Sandro ketika pria itu sekilas menoleh padanya. Namun senyumnya memudar, wajahnya murung seketika saat melihat Sandro terkesan tak acuh, seperti tidak menyadari keberadaannya dan malah memakai kembali kacamatanya.
"Wali."
Sandra mengejutkan Wali dan membuatnya sadar, mobil Sandro tidak ada lagi di depannya. Melainkan sudah berjalan beberapa meter darinya berdiri.
"Kok ngelamun si, yuk ah."
Mengabaikan Wali yang terlihat salah tingkah, Sandra memeluk lengannya dan mengajaknya masuk ke halaman Sekolah bersama puluhan siswa dan siswi berseragam SMA.
"Tumben, diantar bang Sandro?" tanya Wali di tengah langkah mereka melewati luasnya halaman sekolah.
"Iya, nanti bang Sandro mau jemput sekalian ngajak makan," jawab Sandra. Jangan lupakan kedua tangannya yang tidak ingin melepas pelukannya di pergelangan Wali.
"Oh."
"Kamu ikut ya, aku udah bilang sama bang Sandro, kata dia enggak apa-apa..."
Wali tersenyum. Ikut bersama Sandra artinya bertemu Sandro dan jika ada kesempatan ia bisa menanyakan tentang perubahan sikap pria itu padanya. Ia juga lega, apa itu artinya sebenarnya Sandro tidak cuek.
"Kalau kamu ikut 'kan aku ada temen ngobrol," lanjut Sandra.
Wali menoleh pada Sandra dan menatapnya heran. "Emang, kalau aku enggak ikut, kamu enggak bisa ngobrol sama bang Sandro?"
"Ya bukan gitu, cuma bang Sandro kan mau ngedate sama pacarnya, kalau enggak ada kamu, nanti aku iri liat mereka berdua." Sandra tersenyum malu-malu. "Anggap aja dobledate."
Senyum Wali memudar seketika. Astaga, cowok itu baru sadar dan tidak pernah bertanya apakah pria itu memiliki kekasih atau tidak. Terlalu naif jika ia selama ini menganggap pria seperti Sandro belum mempunyai pacar. Wali mencoba menetralisir hatinya, memaksakan untuk memahami kenyataan bahwa memang seperti itu seharusnya. Namun tetap saja, perasaannya tidak bisa dibohong, ia sakit, kecewa, bahkan cemburu tak bisa dihindarkan.
"Bang, Sandro punya pacar?" tanya Wali ditengah hatinya yang resah.
"Lebih tepatnya baru balikan lagi tadi malem, kata abang," sahut Sandra. "Tadinya putus gara-gara pacar bang Sandro pengen ngajak nikah, tapi abang belum siap. Abang pengen aku selesai in sekolah dulu. Padahal aku si enggak apa-apa. Aku enggak mau jadi beban buat bang Sandro."
Wali tersenyum datar. Cowok itu langsung berpikir, sepertinya mengikuti ajakan Sandra bukanlah keputusan yang tepat. Meski ia tahu akan membuat Sandra kecewa, tapi setidaknya lebih baik dari pada batinnya tersiksa melihat Sandro dengan pacarnya. Dan ia yakin, perasaannya itu nanti akan berpengaruh dengan sikapnya saat bersama Sandra.
"Oh, gitu," komentar Wali kemudian. "Tapi San, maaf aku enggak bisa ikut."
Mendengar itu Sandra sontak menghentikan langkah, memutar tubuh dan menatap tanya pada Wali. Benar saja, gadis itu terlihat kecewa.
"Lho, kenapa?"
"Kamu ngajak nya telat," jawab Wali. "Aku udah terlanjur janji sama ibu kos mau bantuin dia. Mau ada acara katanya."
Wali tidak sepenuhnya berbohong. Meskipun ibu Marni tidak meminta bantuannya, tapi saat berangkat sekolah tadi ia melihat rumah ibu Marni ramai ibu-ibu yang membantu untuk acara syukuran.
Sandra menghela kecewa. "Gitu, ya?"
"Aku enggak enak kalau tiba-tiba batal in janji."
Sandra terdiam. Setelah dipikir-pikir ini bukan salah Wali. Harusnya ia menghubungi cowok itu tadi malam. "Yaudah kalau gitu."
"Maaf, San," kata Wali.
Sandra tersenyum. Selain tahu posisi Wali, gadis itu hanya tidak ingin menjadi cewek egois yang menyuruh pacarnya membatalkan janji yang sudah lebih dulu dibuat, demi dirinya. "Enggak apa-apa, masih ada hari lain, kan?"
Wali tersenyum datar dan mengangguk. "Iya," jawab cowok itu.
Sandra kembali meraih pergelangan Wali, memeluknya dan berjalan sambil menidurkan kepala di pundak cowok itu.
Tanpa mereka sadari, di belakang, dengan jarak beberapa meter, Yuza, Bojen, dan Odi sedang memperhatikan.
"Anjing, makin berani itu anak." Yuza mengumpat sambil menatap murka punggung Wali. Cowok itu lantas menoleh pada Bojen dan mendekatkan mulutnya di kuping cowok itu. "Kamu udah dapet obat biusnya kan?"
"Udah, beres," sahut Bojen.
Odi terdiam seribu bahasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-P-G (End)
RandomGambar Cover by; @LikikChia desain By; @Oikhoe69 Pindah ke Karyakarsa