Bab 9

4.3K 316 70
                                    

Wali terpaksa mengambil libur sekolah beberapa hari untuk menenangkan hatinya agar lebih baik. Meski keadaannya sudah baik-baik saja, tapi cowok itu masih trauma, takut dan belum berani bertemu Yuza dan kawan-kawannya. Sebenarnya, berulang kali Sandro bahkan Sandra membujuk agar melaporkan kenakalan Yuza dan temanya pada pihak berwajib- dan ia siap pasang badan, melindungi Wali jika bahaya datang mengancam. Namun sayang Wali menolaknya dan selalu memberi alasan yang sama. Wali tidak ingin menambah panjang urusan, Wali hanya ingin melanjutkan sekolah dan berharap mereka tidak akan melakukannya lagi. Selain itu Wali lemah.

Selama libur sekolah Sandro terlihat lebih perhatian. Pria itu selalu menyempatkan diri singgah ke kosan Wali untuk sekedar melihat keadaan Wali memberinya makanan atau apa pun yang dibutuhkan. Keadaan itu memaksa keduanya untuk saling dekat bahkan akrab. Dan tentu saja perhatian Sandro terhadap Wali semakin menumbuhkan rasa yang memang sudah ada sejak pertama kali bertemu. Rasa itu tumbuh semakin subur disirami dengan perhatian dan kepedulian yang Sandro berikan. Wali menjadi sangat sulit untuk mengingkari perasaannya yang semakin berakar kuat.

Begitu pun dengan Sandro. Ia mulai merasa kepeduliannya terhadap Wali bukan semata karena rasa kemanusiaan belaka, bukan karena melihat status Wali sebagai kekasih adiknya. Melainkan karna keanehan yang merasuki hatinya yang kadang merasa kangen dan tidak sabar bertemu Wali- meski memang semuanya berawal dari rasa iba. Dan sekarang Sandro merasa ingin tetap peduli meski Wali kondisinya sudah jauh lebih baik. Terlebih saat ia juga merasakan getaran aneh, libidonya naik saat memeluk tubuh Wali malam itu.

***

Jam pelajaran baru saja usai. Semua siswa berhamburan keluar dengan riang untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Wali- yang sudah masuk sekolah setelah libur beberapa hari, di tengah langkah kaki melewati koridor, mendadak ingin ke toilet untuk membuang hadas kecilnya.

"Ngga." Wali menepuk pundak Angga yang jalan beriringan dengannya.

"Kenapa, Li?" Angga bertanya.

"Kamu duluan, ya aku mau ke toilet."

Angga mengangguk. "Oke." Ia lantas melanjutkan langkah bersama puluhan siswa dan siswi lainnya. Sedangkan Wali memutar arah menuju ke toilet Sekolah.

***

Wali terlihat terburu-buru ingin segera meninggalkan toilet setelah selesai membuang hadas kecil. Ia terlihat ketakutan saat menyadari suasana toilet sepi dan teringat dengan tatapan penuh ancaman dari Yuza saat di kelas tadi. Namun belum sempat Wali memutar tubuh, suara panggilan dari HP memaksa ia bertahan menghadap urinoir. Merogoh HP di kantung celana abu-abunya, Wali melihat layar HP yang tertera tulisan di sana- bapak memanggil. Menempelkan benda berbentuk persegi di kupingnya, cowok berseragam putih abu-abu itu lantas menyapa.

"Halo, pak."

"Iya halo, Wali. Gimana kabar kamu?"

"Baik, bapak sama keluarga baik?"

"Syukurlah kalau kamu sehat. Kami Sekeluarga juga sehat. Oh iya kamu udah pulang sekolah?"

"Iya pak, sudah."

Wali terdiam. Ia mendengar suara helaan napas dari sebarang sana.

"Ada apa, Pak?" Wali bertanya.

"Wali."

"Iya Pak, ada apa?"

"Gini nak, bapak minta maaf, bulan ini belum bisa kirim uang buat bayar kosan kamu. Di kampung lagi sulit, adikmu juga belum bayar uang semester. Tapi bapak janji akan usahakan."

Wali mendongak, memejamkan mata sambil menghela napas pelan.

"Enggak apa-apa si, Pak. Tap kan aku udah nunggak lima bulan. Aku malu sama bu Marni pak. Enggak enak mau ngomong nunggak lagi."

A-P-G (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang