BAB 8

5.1K 351 87
                                    

Setelah membenarkan posisi tidur Wali, Sandro berdiri mematung sambil melipat kedua tangannya di dada. Pria itu terlihat bingung malam itu ingin menidurkan dirinya dimana. Pasalnya— meski tubuh Wali kecil, akan tetapi dipan yang juga berukuran kecil tidak akan cukup ditiduri dua orang. Sekalipun dipaksa pasti akan sangat sempit. Menghela napas panjang Sandro menatap dalam-dalam tubuh Wali yang jauh lebih kecil dari tubuhnya. Manik matanya menelusuri tubuh itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan lagi-lagi tatapannya berhenti pada bagian paha Wali yang terbuka karena kain yang menutupinya tersibak. Sekian detik terpaku menatap paha mulus itu, Sandro menelan ludah lantas mengalihkan tatapannya kemana saja karena tersadar bahwa pemilik paha mulus itu adalah laki-laki. Namun tidak bisa dipungkiri, kejadian saat Yuza dan kawan-kawannya akan melecehkan Wali, mengganggu pikiran Sandro. Pria bertubuh tinggi besar itu jadi membayangkan— laki-laki bisa melakukan hubungan intim dengan laki-laki juga.

Membuang napas berat, Sandro kembali menatap wajah Wali. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar di dada saat matanya menatap secara intens wajah innocent itu. Entahlah, mungkin itu hanya perasaan iba atau kasihan karena melihat kondisi Wali yang terlihat masih gelisah dan ketakutan. Mungkin orang lain jika melihatnyapun akan memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Sandro mencoba menepis perasaan itu. Namun sialnya ia teringat bagaimana cara Wali menatap dan sesekali mencuri pandang padanya saat mengantar Sandra menemui Wali di tempat itu— kosan Wali. Melihat bagaimana karakter Wali dan teman-teman yang sering mengganggu membuat pria dewasa itu menyimpulkan: tatapan Wali padanya bukanlah tatapan biasa belaka.

Sandro menggelengkan kepalanya cepat guna menyingkirkan pikiran aneh itu. Ia kemudian berjalan mendekati dipan dan mendudukkan dirinya di sana. Ia terdiam dan termenung sambil menatap sisa tempat yang terlihat begitu sempit untuk ia berbaring. Namun ditengah ia sedang menatap sisa tempat itu tatapannya kembali jatuh pada bagian paha Wali lantas naik kebagian bokong. Hal itu membuat ia jadi teringat lagi bagaimana Yuza akan berbuat kurang ajar pada Wali.

“Huft.” Sandro menghela gelisah. Aneh, hanya melihat dan mengingat itu darahnya mengalir deras dan jantungnya berdebar lebih cepat. Sekuat tenaga Sandro menyingkirkan perasaan aneh yang begitu terasa menyerang dirinya. Tidak, Sandro masih waras. Ia tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Apalagi kepada sorang laki-laki.

Ya, meski usianya  sudah cukup matang, akan tetapi Sandro belum pernah sekalipun melakukan hubungan intim walaupun beberapa kali  pernah menjalin hubungan asmara dengan wanita. Demi adiknya— Sandra, pria itu bisa menahan meski godaan sering datang menghantamnya.  Namun tidak bisa dipungkiri, entah mengapa  godaan di depannya terasa lebih kuat mengganggu jiwanya hingga menggelora.

“Bang.”

Lamunan Sandro membuyar. Suara Wali kembali mengejutkan dirinya. Ia langsung mengalihkan tatapannya ke wajah Wali dan kembali tersentak karena ternyata cowok itu tidak sedang mengigau. Melainkan terbangun dan sedang sibuk mengecek matanya.

“Maaf bang, aku ketiduran,” kata Wali dengan suara parau. Cowok itu lantas bangun dari tidurnya dan duduk di depan Sandro. “Abang masih di sini?”

Sandro tersenyum tipis dan berusaha mengendalikan gelora yang sempet menyerangnya. “Abang enggak mungkin ninggalin kamu,” kata Pria itu setenang mungkin.

Wali harus mendongak  untuk menatap Sandro yang lebih tinggi darinya. “Terima kasih bang, maaf aku jadi ngrepotin abang.”

“Enggak perlu terima kasih, kondisi kamu memang harus dijaga, Wali. Apalagi kamu dari tadi ngigo terus.”

Kening Wali berkerut. “Ngigo?”
Sandro mengangguk. “Iya. Kamu ketakutan terus abang enggak boleh pulang.”

“Eh.”

A-P-G (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang