BAB 7

4.4K 340 42
                                    

Meski kalah jumlah, tapi dengan ukuran tubuh Sandro yang tinggi besar, dan tenaga yang lebih kuat, pria itu mampu menaklukkan tiga preman sekolah sampai lari terbirit-birit. Bahkan tidak ada sedikit pun luka yang menggores di tubuh pria itu saat tiga cowok SMA itu melakukan perlawanan. Malah Yuza dan dua temannya itu berhasil dibuat babak belur hingga ketiganya benar-benar ketakutan. Bagaimana tidak, kebiasaan Sandro yang sering pergi ke tempat fitnes, mengolah tubuh dan terbiasa mengangkat alat berat, menghasilkan tubuhnya yang berotot dan kekar. Tiga kunyuk itu tidak ada apa-apanya bagi Sandro.

Menatap Yuza, Bojen, dan Odi yang lari tunggang langgang, Sandro menghela napas sambil mengusap telapak tangan— membersihkan debu yang menempel. Setelah tiga cowok itu kabur dengan mobil, pria itu memutar tubuh dan langsung terdiam melihat Wali sedang duduk sambil memeluk kedua kakinya. Melihat kepalanya yang merunduk dan tubuh yang gemetar, sepertinya cowok itu benar-benar ketakutan.

Sepersekian detik mengamati Wali, Sandro kemudian berjalan mendekat dan berdiri tepat di hadapannya. “Wali,” panggil pria itu kemudian. Namun Wali hanya diam sambil menyembunyikan wajah.

Isakkan tangis yang kemudian terdengar bersama punggung yang bergerak naik turun, memaksa Sandro akhirnya menjatuhkan tubuh, berlutut tepat di hadapannya. Tangannya terulur, menyentuh pundak Wali dan membuat cowok itu tersentak lantas mengangkat wajah menatap nanar wajah yang memiliki rahang tegas itu.

“Jangan takut, ini abang. Kamu aman sekarang.”

Menggunakan punggung tangan Wali menyeka air mata yang membasahi wajah. Ia hanya diam memandang laki-laki yang baru saja menyelamatkan dirinya, sambil menahan tangis. Entah bagaimana nasibnya jika tidak ada Sandro, Wali tidak berani membayangkan. Meski tertarik dengan laki-laki tapi jika harus dilecehkan dengan cara seperti itu tentu saja ketakutan. Tidak hanya itu, ia juga merasa tidak ada harga dirinya di hadapan tiga cowok itu.

Sandro tersenyum memandang Wali. Telapak tangannya terulur dan menyentuh wajah bersih cowok itu. Lantas menggunakan ibu jari pria itu menyeka air mata Wali di bawa mata kiri dan kanannya.

“Abang yakin mereka enggak akan ganggu kamu,” kata Sandro.

Wali masih saja terdiam memantap Sandro dengan bola mata yang penuh dengan genangan air.

“Enggak usah takut, ya,” lanjut Sandro. “Kalau mereka ganggu kamu lagi, kasih tahu abang.”

Bibir Wali bergetar ingin memecahkan tangis, namun ia tahan. Secara refleks ia lantas menghamburkan tubuhnya memeluk erat tubuh kekar Sandro dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Detik berikutnya tangis sesenggukan kelar dari mulut Wali.

Kali ini Sandro hanya diam. Ia memberikan kesempatan pada Wali untuk meluapkan tangisannya sambil membalas— memberikan pelukan hangat, dan mengusap-usap pucuk kepalanya.

***

Setiba di kosan secara perlahan Sandro membersihkan tubuh Wali dengan handuk kecil yang sudah dibasahi dengan air hangat. Meski tangannya kekar akan tapi terlihat sangat lembut dan hati-hati sekali saat memperlakukan Wali.

Sambil membersihkan luka di wajah Wali, Sandro menatap iba pada cowok itu. Ia kemudian tersenyum saat melihat mata Wali secara refleks menatap dirinya dan terpaku. Hal itu tentu saja membuat Wali salah tingkah lantas memalingkan wajahnya kemana saja. Namun telapak tangan Sandro buru-buru meraih dagu Wali, memutar wajahnya hingga memaksanya kembali bertatapan.

“Jangan gerak,” kata Sandro sambil membersihkan luka di ujung bibir Wali. “Biar abang bersihkan dulu lukanya.”

Wali menelan ludahnya susah payah. Jarak wajah yang begitu dekat membuat jantungnya semakin bergemuruh tidak karuan. Bahkan debaran di dadanya mampu mengurangi rasa sakit akibat pukulan yang diberikan Yuza dan kawan-kawan ketika ia melakukan perlawanan saat akan dibawa ke gedung tua tadi.

A-P-G (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang